Selasa, 22 Februari 2011

MTBS = ICMI

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia sebesar 34/1000 kelahiran hidup. Bila angka ini dikonversikan secara matematis, maka setidaknya terjadi 400 kematian bayi perhari atau 17 kematian bayi setiap 1 jam di seluruh Indonesia, sedangkan Angka Kematian Balita (AKBAL) sebesar 44/1000 kelahiran hidup yang berarti terjadi 529 kematian/hari atau 22 kematian balita setiap jamnya. Bila kita mencoba menghitung lebih jauh lagi, berarti terjadi lebih dari 15.000 kematian balita setiap bulannya, apakah jumlah ini tidak melebihi jumlah korban akibat bencana alam? Bila kejadian bencana alam selalu menghebohkan kita, mengapa kematian anak balita dan bayi seolah menjadi hal biasa?
Apa saja penyebab kematian bayi dan balita? Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ada beberapa penyakit utama yang menjadi penyebab kematian bayi dan balita. Pada kelompok bayi (0-11 bulan), dua penyakit terbanyak sebagai penyebab kematian bayi adalah penyakit diare sebesar 31,4% dan pneumonia 24%, sedangkan untuk balita, kematian akibat diare sebesar 25,2%, pneumonia 15,5%, Demam Berdarah Dengue (DBD) 6,8% dan campak 5,8%.
Penyakit-penyakit penyebab kematian tersebut pada umumnya dapat ditangani di tingkat Rumah Sakit dan Puskesmas perawatan namun masih sulit untuk ukuran Puskesmas non-perawatan. Hal ini disebabkan antara lain karena masih minimnya sarana/peralatan, alat diagnostik, obat-obatan dan ketersediaan SDM di tingkat Puskesmas terutama Puskesmas non-perawatan dan Puskesmas di daerah terpencil, selain itu seringkali Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter yang siap di tempat setiap saat. Padahal, Puskesmas merupakan ujung tombak fasilitas kesehatan yang paling diandalkan di tingkat kecamatan. Kenyataan lain di banyak provinsi, keberadaan Rumah Sakit pada umumnya hanya ada sampai tingkat kabupaten/kota sedangkan masyarakat Indonesia banyak tinggal di pedesaan.
Kendala seperti tersebut di atas banyak terjadi di negara-negara berkembang. Berpijak dari hal tersebut, WHO dan UNICEF telah mengembangkan suatu strategi/pendekatan yang dinamakan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). Indonesia telah mengadopsi pendekatan MTBS sejak tahun 1996 dan implementasinya dimulai tahun 1997. Salah satu kegiatan awal yang penting pada waktu itu adalah mengadaptasi Modul MTBS WHO melalui kerjasama dengan WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sehingga menghasilkan 1 set generik Modul MTBS versi Indonesia. Setelah itu Modul MTBS mengalami revisi beberapa kali sesuai dengan perkembangan situasi penyakit dan kebijakan pengobatan di Indonesia. Modul MTBS yang dipakai sekarang (last update) adalah Modul revisi tahun 2008.
Saat ini penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi namun belum semua Puskesmas dapat menerapkannya karena berbagai kendala antara lain: terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang dapat dilatih MTBS, perpindahan (mutasi) tenaga kesehatan yang telah dilatih, kurang lengkapnya sarana dan prasarana pendukung, dsb. Sebagai gambaran, jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia ada sekitar 7500 Puskesmas (data Depkes tahun 2006), untuk menerapkan MTBS perlu dilatih 2 orang tenaga kesehatan di setiap Puskesmas. Dalam 1 kali penyelenggaraan pelatihan MTBS kita dapat melatih 30-40 tenaga kesehatan yang dibagi dalam 3-4 kelas dengan lama pelatihan 6 hari. Apabila dalam 1 tahun Depkes (pusat) hanya menyelenggarakan pelatihan MTBS 10 kali saja (jumlah ini sudah termasuk banyak, mungkin kurang dari itu), maka berarti Depkes hanya dapat meng-cover sekitar 300-400 tenaga kesehatan/tahun atau sekitar 5 % saja yang dapat dilatih MTBS. Belum lagi bila dikurangi jumlah tenaga kesehatan yang pindah atau pensiun maka jumlah itu sangat tidak memadai. Oleh karena itu Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota harus menjadi pemeran utama dalam pelatihan MTBS agar seluruh Puskesmas di wilayahnya dapat menerapkan MTBS. Caranya dengan memperbanyak jumlah pelatihan MTBS sesuai kebutuhan Puskesmas di wilayahnya.


B. TUJUAN
Untuk mengetahui definisi MTBS
Untuk mengetahui sejarah MTBS diindonesia
Untuk mengetahui latar belakang MTBS diindonesia
Untuk mengetahui MTBS sangat cocok diterapkan dipuskesmas
Untuk mengetahui MTBS adalah suatu system
Untuk memahami penatalaksanaan balita sakit dengan pendekatan MTBS
Untuk memahami bagaimana cara penilaian anak sakit






















BAB II
I S I
DEFINISI MTBS
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana balita sakit. Konsep pendekatan MTBS yang pertama kali diperkenalkan oleh WHO merupakan suatu bentuk strategi upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian, kesakitan dan kecacatan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang.
Pendekatan MTBS di Indonesia pada awalnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar (Puskesmas dan jaringannya termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes, dll). Upaya ini tergolong lengkap untuk mengantisipasi penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian bayi dan balita di Indonesia. Dikatakan lengkap karena meliputi upaya preventif (pencegahan penyakit), perbaikan gizi, upaya promotif (berupa konseling) dan upaya kuratif (pengobatan) terhadap penyakit-penyakit dan masalah yang sering terjadi pada balita.
Strategi MTBS memliliki 3 komponen khas yang menguntungkan, yaitu:
1. Komponen I: Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (selain dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien asalkan sudah dilatih).
2. Komponen II: Memperbaiki sistem kesehatan (utamanya di tingkat kabupaten/kota).
3. Komponen III: Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat), yang dikenal sebagai 'MTBS berbasis Masyarakat.'

SEJARAH PENERAPAN MTBS DI INDONESIA
Strategi MTBS mulai diperkenalkan di Indonesia oleh WHO pada tahun 1996. Pada tahun 1997 Depkes RI bekerjasama dengan WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melakukan adaptasi modul MTBS WHO. Modul tersebut digunakan dalam pelatihan pada bulan November 1997 dengan pelatih dari SEARO. Sejak itu penerapan MTBS di Indonesia berkembang secara bertahap dan up-date modul MTBS dilakukan secara berkala sesuai perkembangan program kesehatan di Depkes dan ilmu kesehatan anak melalui IDAI.
Hingga akhir tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi, namun belum seluruh Puskesmas mampu menerapkan karena berbagai sebab: belum adanya tenaga kesehatan di Puskesmasnya yang sudah terlatih MTBS, sudah ada tenaga kesehatan terlatih tetapi sarana dan prasarana belum siap, belum adanya komitmen dari Pimpinan Puskesmas, dll. Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan provinsi seluruh Indonesia melalui Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak tahun 2010, jumlah Puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan (melakukan pendekatan memakai MTBS) pada minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di Puskesmas tersebut.
LATAR BELAKANG PERLUNYA PENERAPAN MTBS DI INDONESIA
Menurut data hasil Survei yang dilakukan sejak tahun 1990-an hingga saat ini (SKRT 1991, 1995, SDKI 2003 dan 2007), penyakit/masalah kesehatan yang banyak menyerang bayi dan anak balita masih berkisar pada penyakit/masalah yang kurang-lebih sama yaitu gangguan perinatal, penyakit-penyakit infeksi dan masalah kekurangan gizi.
Penyebab kematian neonatal (bayi berusia 0-28 hari) menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel proporsi penyebab kematian neonatal di Indonesia tahun 2007
Sumber: Badan Litbangkes, Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007

Sedangkan penyebab kematian bayi dan anak balita menurut Riskesdas 2007, pada kelompok bayi (29 hari - 11 bulan) dan kelompok anak balita (12 bulan - 59 bulan) ada dua penyebab kematian tersering yaitu diare dan pneumonia. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Tabel proporsi penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia tahun 2007
Sumber: Badan Litbangkes, Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007

Penyakit-penyakit penyebab kematian tersebut pada umumnya dapat ditangani di tingkat Rumah Sakit, namun masih sulit untuk tingkat Puskesmas. Hal ini disebabkan antara lain karena masih minimnya sarana/peralatan diagnostik dan obat-obatan di tingkat Puskesmas terutama Puskesmas di daerah terpencil yang tanpa fasilitas perawatan, selain itu seringkali Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter yang siap di tempat setiap saat. Padahal, Puskesmas merupakan ujung tombak fasilitas kesehatan yang paling diandalkan di tingkat kecamatan. Kenyataan lain di banyak provinsi, keberadaan Rumah Sakit pada umumnya hanya ada sampai tingkat kabupaten/kota sedangkan masyarakat Indonesia banyak tinggal di pedesaan.
Berdasarkan kenyataan (permasalahan) di atas, pendekatan MTBS dapat menjadi solusi yang jitu apabila diterapkan dengan benar (ketiga komponen diterapkan dengan maksimal). Pada sebagian besar balita sakit yang dibawa berobat ke Puskesmas, keluhan tunggal jarang terjadi. Menurut data WHO, tiga dari empat balita sakit seringkali memiliki beberapa keluhan lain yang menyertai dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang menjadi fokus MTBS. Hal ini dapat diakomodir oleh MTBS karena dalam setiap pemeriksaan MTBS, semua aspek/kondisi yang sering menyebabkan keluhan anak akan ditanyakan dan diperiksa.
Menurut laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis intervensi yang paling cost effective yang memberikan dampak terbesar pada beban penyakit secara global. Bila Puskesmas menerapkan MTBS berarti turut membantu dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terpadu. Oleh karena itu, bila anda membawa anak balita berobat ke Puskesmas, tanyakanlah apakah tersedia pelayanan MTBS di Puskesmas itu? bila ada, mintalah dilayani memakai pendekatan MTBS.

MTBS SANGAT COCOK DITERAPKAN DI PUSKESMAS
Pada sebagian besar balita sakit yang dibawa berobat ke Puskesmas, keluhan tunggal kemungkinan jarang terjadi, menurut data WHO, tiga dari empat balita sakit seringkali memiliki banyak keluhan lain yang menyertai dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang menjadi fokus MTBS. Pendekatan MTBS dapat mengakomodir hal ini karena dalam setiap pemeriksaan MTBS, semua aspek/kondisi yang sering menyebabkan keluhan anak akan ditanyakan dan diperiksa.
Menurut laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis intervensi yang cost effective yang memberikan dampak terbesar pada beban penyakit secara global. Bila Puskesmas menerapkan MTBS berarti turut membantu dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terpadu. Oleh karena itu, bila anda membawa anak balita berobat ke Puskesmas, tanyakanlah apakah tersedia pelayanan MTBS disana.
MTBS SEBAGAI SUATU SISTEM
MTBS dalam kegiatan di lapangan khususnya di Puskesmas merupakan suatu system yang mem permudah pelayanan serta meningkatkan mutu pelayanan. Tabel di bawah ini dapat dilihat penjelasan MTBS merupakan suatu sistem.

1. Input
Balita sakit datang bersama kelaurga diberikan status pengobatan dan formulir MTBS Tempat dan petugas : Loket, petugas kartu
2. Proses
• Balita sakit dibawakan kartu status dan formulir MTBS.
• Memeriksa berat dan suhu badan.
• Apabila batuk selalu mengitung napas, melihat tarikan dinding dada dan mendengar stridor.
• Apabila diare selalu memeriksa kesadaran balita, mata cekung, memberi minum anak untuk melihat apakah tidak bias minum atau malas dan mencubit kulit perut untuk memeriksa turgor.
• Selalu memerisa status gizi, status imunisasi dan pemberian kapsul Vitamin A
Tempat dan petugas : Ruangan MTBS, case manager
3.Output
Klasifikasi yang dikonversikan menjadi diagnosa, tindakan berupa pemberian terapi dan konseling berupa nasehat pemberian makan, nasehat kunjungan ulang, nasehat kapan harus kembali segera. Konseling lain misalnya kesehatn lingkungan, imunisasi, Konseling cara perawatan di rumah. Rujukan diperlukan jika keadaan balita sakit membutuhkan rujukan Tempat dan petugas : Ruangan MTBS, case manager.
PENATALAKSANA BALITA SAKIT DENGAN PENDEKATAN MTBS
Berikut ini gambaran singkat penanganan balita sakit memakai pendekatan MTBS. Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh Petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut Algoritma MTBS untuk melakukan penilaian/pemeriksaan dengan cara: menanyakan kepada orang tua/wali, apa saja keluhan-keluhan/masalah anak kemudian memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'. Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya-jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi, petugas akan menentukan jenis tindakan/pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi Pneumonia Berat atau Penyakit Sangat Berat akan dirujuk ke dokter Puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.
Gambaran tentang begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan MTBS dapat dilihat pada item di bawah ini tentang hal-hal yang diperiksa pada pemeriksaan dengan pendekatan MTBS. Ketika anak sakit datang ke ruang pemeriksaan, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/wali secara berurutan, dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti:
• Apakah anak bisa minum/menyusu?
• Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?
• Apakah anak menderita kejang?
Kemudian petugas akan melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar?
Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama lain:
• Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?
• Apakah anak menderita diare?
• Apakah anak demam?
• Apakah anak mempunyai masalah telinga?
• Memeriksa status gizi
• Memeriksa anemia
• Memeriksa status imunisasi
• Memeriksa pemberian vitamin A
• Menilai masalah/keluhan-keluhan lain
Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan mengklasifikasi keluhan/penyakit anak, setelah itu melakukan langkah-langkah tindakan/pengobatan yang telah ditetapkan dalam penilaian/klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara lain:
• Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah
• Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah
• Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di rumah, misal aturan penanganan diare di rumah
• Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat
• Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan
• dan lain-lain
Selain itu di dalam MTBS terdapat penilaian dan klasifikasi bagi Bayi Muda berusia kurang dari 2 bulan, yang disebut juga Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM). Penilaian dan klasifikasi bayi muda di dalam MTBM terdiri dari:
• Menilai dan mengklasifikasikan untuk kemungkinan penyakit sangat berat atau infeksi bakteri
• Menilai dan mengklasifikasikan diare
• Memeriksa dan mengklasifikasikan ikterus
• Memeriksa dan mengklasifikasikan kemungkinan berat badan rendah dan atau masalah pemberian Air Susu Ibu (ASI). Yang menarik disini, diuraikan secara terperinci cara mengajari ibu tentang cara meningkatkan produksi ASI, cara menyusui yang baik, mengatasi masalah pemberian ASI secara sistematis dan terperinci, cara merawat tali pusat, menjelaskan kepada ibu tentang jadwal imunisasi pada bayi kurang dari 2 bulan, menasihati ibu cara memberikan cairan tambahan pada waktu bayinya sakit, kapan harus kunjungna ulang, dll.
• Memeriksa status penyuntikan vitamin K1 dan imunisasi.
• Memeriksa masalah dan keluhan lain.

CONTOH PENILAIAN ANAK SAKIT
Penilaian pertama yang dilakukan terhadap balita sakit adalah memeriksa tanda bahaya umum, bila ditemukan satu atau lebih tanda-tanda bahaya umum maka diklasifikasikan sebagai 'penyakit sangat berat'. Kemudian dilanjutkan penilaian keluhan utama yang dimulai dengan pertanyaan 'apakah anak menderita baruk atau sukar bernafas?' Bila ya, maka dihitung frekuensi nafas anak permenit, memeriksa tanda-tanda pneumonia berupa adanya tarikan dinding dada kedalam dan stridor. Penilaian: bila ada tanda bahaya umum diikuti adanya tarikan dinding dada kedalam dan adanya stridor maka anak diklasifikasikan sebagai 'pneumonia berat atau penyakit sangat berat'. Bila hanya ada nafas cepat maka diklasifikasikan sebagai 'pneumonia', tetapi bila tidak ada tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat berat maka diklasifikasikan sebagai 'batuk: bukan pneumonia'. Selanjutnya menilai diare, demam, dst.





BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana balita sakit. Konsep pendekatan MTBS yang pertama kali diperkenalkan oleh WHO merupakan suatu bentuk strategi upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka kematian, kesakitan dan kecacatan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang.
betapa sistematis, terperinci dan terintegrasinya penatalaksanaan balita sakit dengan pendekatan MTBS. Semuanya tentu tidak dapat diuraikan disini karena memerlukan puluhan halaman. Sebagai gambaran, untuk melakukan penilaian dan tindakan/pengobatan bagi setiap balita sakit, pendekatan MTBS memakai 1 set Bagan Dinding yang ditempelkan di tembok ruang pemeriksaan dan dapat memenuhi semua sisi tembok ruang pemeriksaan MTBS di Puskesmas dan formulir pencatatan baik bagi bayi muda (0-2 bulan) maupun balita umur 2 bulan - 5 tahun. Sedangkan untuk pelatihan petugas, diperlukan 1 paket buku yang terdiri dari 7 buku Modul, 1 buku Foto, 1 buku Bagan, 1 set bagan dinding serta 1 set buku Pedoman Fasilitator dengan lama pelatihan selama 7 hari ditambah pelajaran pada sesi malam.
B. SARAN
Saat ini penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi namun belum semua Puskesmas dapat menerapkannya karena berbagai kendala antara lain: terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang dapat dilatih MTBS, perpindahan (mutasi) tenaga kesehatan yang telah dilatih, kurang lengkapnya sarana dan prasarana pendukung, dsb. Sebagai gambaran, jumlah Puskesmas di seluruh Indonesia ada sekitar 7500 Puskesmas (data Depkes tahun 2006), untuk menerapkan MTBS perlu dilatih 2 orang tenaga kesehatan di setiap Puskesmas. Dalam 1 kali penyelenggaraan pelatihan MTBS kita dapat melatih 30-40 tenaga kesehatan yang dibagi dalam 3-4 kelas dengan lama pelatihan 6 hari. Apabila dalam 1 tahun Depkes (pusat) hanya menyelenggarakan pelatihan MTBS 10 kali saja (jumlah ini sudah termasuk banyak, mungkin kurang dari itu), maka berarti Depkes hanya dapat meng-cover sekitar 300-400 tenaga kesehatan/tahun atau sekitar 5 % saja yang dapat dilatih MTBS. Belum lagi bila dikurangi jumlah tenaga kesehatan yang pindah atau pensiun maka jumlah itu sangat tidak memadai. Oleh karena itu Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota harus menjadi pemeran utama dalam pelatihan MTBS agar seluruh Puskesmas di wilayahnya dapat menerapkan MTBS. Caranya dengan memperbanyak jumlah pelatihan MTBS sesuai kebutuhan Puskesmas di wilayahnya.