Sabtu, 29 Januari 2011

ASKEP ASFIKSIA NEONATUS

KATA PENGATAR


ASSALAMU’ALAIKUM. Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, selawat dan salam kepada nabi besar Muhammad SAW,beserta sahabat, keluarga dan pengikut beliau yang istiqamqah akhir zaman.
Dengan izin Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA NEONATUS” Kami menyadari tak ada gading yang tak retak, dan makalah ini Masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini menjadi sempurna. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing ISESRENI, S.Kp yang telah memberikan arahan kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Akhirnya kepada Allah SWT, jualah semuanya dikembalikan dengan iringan doa sehingga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca semua upaya mencerdaskan bangsa.



WASSALAMU’ALAIKUM. Wr.Wb.



B A B I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Asfiksia Neonatus merupakan keadaan dimana bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan keadaan tersebut disertai dengan, Keadaan adanya hipoksia, hiperakanea, asidosis metabilok. (A. aziz Almul Hidayat. 2005: 198).
Asfiksia Neonatus dapat disebabkan oleh faktor kehamilan, persalinan dan faktor ibu. Asfiksia ringan nya tergantung pada penatalaksanya, sedang kan pada bayi dengan asfiksia berat jika penanganan nya tidak tepat dapat menimbulkan kematian, serta kelainan syaraf. Asfiksia dengan pH 6,9 dapat menimbulkan kejang sampai koma, serta kelainan neurologist yang permanen seperti retardasi mental. (Mitayani, 2010).
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi metabolic dan kardiopulmonalnya (hipoksa, hioglikomi, syok) dapat diobati, pd umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelekk jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksia, iskemik. Ensefalopati berat. Ditandai dengan koma flasid, apnea, reflek okulosefalik tidak ada, kejang refrakter, dan pengurangan penipisan korteks yang nyata dan CT Scan, dihubung kan dengan prognosis yang jelek. Skor apgar rendah pada menit ke 20, tidak respirasi spontan pada usia 20 menit dan menetapnya tanda-tanda kelainan pada usia 2 minggu yang meramalkan kematian atau adanya deficit kognitif dan motorik yang berat. (Nelson, 1999: 583).

B. TUJUAN
1. Tujuan umum
• Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada bayi dengan klien asfiksia neonates secara baik dan benar.
2. Tujuan khusus
• Mahasiswa mampu memahami tentang pengertian Asfiksia Neonatus
• Mahasiswa mampu memahami tentang etiology Asfiksia Neonatus
• Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi Asfiksia Neonatus
• Mahasiswa mampu memahami tentang web of caution Asfiksia Neonatus
• Mahasiswa mampu memahami tentang tanda dan gejala Asfiksia Neonatus
• Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan Asfiksia Neonatus
• Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan teoritis Asfiksia Neonatus
• Mahasiswa mampu melakukan pengkajian klien dengan asfiksia neonates
• Klien mampu menganalisa data, dari pengkajian yang telah dilakukan pada klien dengan asfiksia neonatus
• Klien mampu merumuskan diagnosa keperawatan klien dengan asfiksia neonatus
• Klien mampu membuat rencana keperawatan klien dengan asfiksia neonatus
















B A B II
KONSEP DASAR PENYAKIT ASFIKSIA NEONATUS
A. PENGERTIAN
 Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. (Mochtar, 1989)
 Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 1998)
 Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000)
 Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2001)

B. JENIS ASFIKSIA
Ada dua macam jenis asfiksia, yaitu :
1. Asfiksia livida (biru)
2. Asfiksia pallida (putih)

C. KLASIFIKASI ASFIKSIA
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

D. ETIOLOGI
Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1. Asfiksia dalam kehamilan
a. Penyakit infeksi akut
b. Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uraemia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f. Cacat bawaan
g. Trauma
2. Asfiksia dalam persalinan
a. Kekurangan O2.
• Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
• Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke uri.
• Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
• Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul.
• Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
• Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
• Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.
b. Paralisis pusat pernafasan
• Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps
• Trauma dari dalam : akibat obat bius.
Penyebab asfiksia Stright (2004)

1. Faktor ibu, meliputi amnionitis, anemia, diabetes hipertensi ynag diinduksi oleh kehamilan, obat-obatan iinfeksi.
2. Faktor uterus, meliputi persalinan lama, persentasi janin abnormal.
3. Faktor plasenta, meliputi plasenta previa, solusio plasenta, insufisiensi plasenta.
4. Faktor umbilikal, meliputi prolaps tali pusat, lilitan tali pusat.
5. Faktor janin, meliputi disproporsi sefalopelvis, kelainan kongenital, kesulitan kelahiran.


E. PATOFISIOLOGI
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki perioode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.

F. TANDA DAN GEJALA
1. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
• Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
• Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
• Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik : kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Laboratorium biasanya ditemukan penurunan kadar hematokritdan peninggian trombosit akibat hiperaktifitas sum-sum tulang.
• Pungsi lumbal untuk menunjukkan adanya cairan spinal yang bercampur darah disertai dengan peninggian jumlah sel darah merah dan protein, serta penurunan glukosa.

H. PENATALAKSANAAN
Persiapan sebelum bayi lahir ( bayi dengan resiko tinggi terjadinya asfiksia ) :
- Siapkan obat
- Periksa alat yang akan digunakan, antara lain :
• Alat penghisap lendir ( jangan elektrik ), sungkup
• Tabung O2 terisi
• Handuk, gunting tali pusat, penjepit tali pusat, Natrium bicarbonat.
- Pada waktu bayi lahir :
Sejak muka bayi terlihat, bersihkan muka, kemudian hidung dan mulut, hisap lendir secara hati-hati.

Penatalaksanaan untuk Asfiksia :
Posisi bayi trendelenburg dengan kepala miring.
Bila sudah bernapas spontan letakkan dengan posisi horizontal.

- Apgar Score I 7 – 10 :
a. Bersihkan jalan napas dengan kateter dari lubang hidung, sambil melihat adanya atresia choane, kemudian bersihkan jalan napas dengan kateter melalui mulut sampai nasopharynx. Kecuali pada bayi asfiksia yang air ketubannya mengandung meconeum.
b. Bayi dibersihkan ( boleh dimandikan ) kemudian dikeringkan, termasuk rambut kepala.
c. Observasi tanda vital sampai stabil, biasanya sekitar 2 – 4 jam.

- Apgar Score I 4 – 6 :
i. Seperti a , jangan dimandikan, cukup dikeringkan termasuk rambut kepala.
ii. Beri rangsangan taktil dengan tepukan pada telapak kaki,
maksimum 15 – 30 detik.
iii. Bila belum berhasil, beri O2 dengan atau tanpa corong
( lebih baik yang dihangatkan )

- Apgar Score I 4 – 6 dengan detik jantung > 100
i. Lakukan bag and mask ventilation dan pijat jantung.

- Apgar Score I 0 – 3 :
i. Jaga agar bayi tidak kedinginan, sebab dapat menimbulkan hipotermia dengan segala akibatnya.
ii. Jangan diberi rangsangan taktil.
iii.Jangan diberi obat perangsang napas.
iv. Segera lakukan resusitasi.

RESUSITASI
Apgar Score 0 – 3 :
- Jangan diberi rangsangan taktil
- Lakukan segera intubasi dan lakukan ventilasi
- Mouth to tube atau pulmonator to tube
- Bila intubasi tidak dapat, lakukan mouth to mouth
respiration atau mask and pulmonator respiration,
kemudian bawa ke ICU.

Ventilasi Biokemial :
- Lakukan pemeriksaan blood gas, kalau perlu dikoreksi dengan Natrium bicarbonat. Bila fasilitas blood gas tidak ada, berikan Natrium bicarbonat pada asfiksia berat dengan dosis 2 – 4 mEq/ kg BB, maksimum 8 mEq/ kg BB/ 24 jam.

5. Referensi
a. Erwin Sarwono et al, Asfiksia Neonatorum, Pedoman Diagnosa dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, 1994
















B A B III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS KLIEN DENGAN ASFIKSIA NEONATUS
A. PENGKAJIAN
Pengkajan adalah data dasar utama proses keperawatan yang tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan kesehatan klien yang memungkinkan perawat asuhan keperawatan kepada klien
a. Identitas Pasien
yaitu: mencakup nama pasien, umur, agama, alamat, jenis kelamin, pendidikan, perkerjaan, suku, tanggal masuk, no. MR, identitas keluarga, dll.
b.Keluhan Utama
biasanya bayi setelah partus akan menunjukkan tidak bias bernafas secara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan keadaan bayi ditandai dengan sianosis, hipoksia, hiperkapnea, dan asidosis metabolic.
c. Riwayat kehamilan dan kelahiran
a. Prenatal
Kemungkinan ibu menderita penyakit infeksi akut, infeksi kronik, keracunan karena obat-obat bius, uremia, toksemia gravidarum, anemia berat, bayi mempunyai resiko tinggi terhadap cacat bawaan dan tejadi trauma pada waktu kehamilan.
b. Intranatal
Biasanya asfiksia neonatus dikarenakan kekurangan o2 sebab partus lama, rupture uteri yang memberat, tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada placenta, prolaps fenikuli tali pusat, pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya, perdarahan bayak, placenta previa, sulitio plasenta, persentase janin abnormal, lilitan tali pusat, dan kesulitan lahir.
c. Postnatal
Biasanya ditandai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolic, perubahan fungsi jantung, kegagalan system multi organ.
1. Riwayat kesehatan
a. RKD
Kemungkinan ibu menderita penyakit infeksi akut, infeksi kronik, keracunan karena obat-obat bius, uremia, toksemia gravidarum, anemia berat, bayi mempunyai resiko tinggi terhadap cacat bawaan dan tejadi trauma pada waktu kehamilan.
b. RKS
Biasanya bayi akan menunjukkan warna kulit membiru, terjadi hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolic, usaha bernafas minimal atau tidak ada, perubahan fungsi janutng, kegagalan system multi organ, kejang, nistagmus dan menagis kurang baik atau tidak menangis.
c. RKK
biasanya faktor ibu meliputi amnionitis, anemia, diabetes, hipertensiyang diinduksi oleh kehamilan dan obat-obat infeksi.
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang ditemukan pada klien ini adalah sebagai berikut :
- Tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu, pernafasan) itdak normal
- Keadaan umum klien biasanya tidak baik
1. Rambut : uraikan bentuk rambut seperti hitam, pedek, lurus, alopsia
2. Kulit kepala : kotor/tidak kotor
3. Mata :
Kesimetrisan : simetris ki dan ka
Konjungtiva : anemis/tidak anemis
Sclera : ikterik/ tdk ikterik
Adanya isi bola mata atau tidak
4. Telinga
Kesimetrisan ki dan ka, adanya daun telinga, adanya lubang telinga, ada /tdk vernik karnisiosa. Sekresi darah atau cairan lainnya.
5. Hidung
Adanya lubang hidung simetris kid an ka dan adanya sekat pada hiudng
6. Mulut
Ada atau tidak labia skizis, palato skizis atau labia palato skizis.
7. Dada dan thorak
I : biasanya warna kulit dada klien biru, tanpak usaha bernafas minimal atau tidak ada
P: biasanya terjadi retraksi dinding dada
P: normal/tdk
A: normal/tdk
8. Abdomen
I : perut asites atau tidak
P : biasanya lembek atau supel
P : n: tympani
A: bising usus (+)
9. Genetalia
Perempuan : labia mayora menutupi labia minora
Laki-laki : testis sudah turun kescrotum
10. Rectum dan anus
Adanya lubang anus atau atresia ani
11. Kulit/ intagumen
I: biasanya kulit berwarna biru atau sianosis

1. Sirkulasi
• Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).
• Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
• Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
• Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
2. Eliminasi
• Dapat berkemih saat lahir.
3. Makanan/ cairan
• Berat badan : 2500-4000 gram
• Panjang badan : 44-45 cm
• Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
4. Neurosensori
• Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
• Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma).
• Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada mnangis tinggi menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)
5. Pernafasan
• Skor APGAR : 1 menit......5 menit....... skor optimal harus antara 7-10.
• Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
• Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
6. Keamanan
• Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi).
• Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada (penempatan elektroda internal)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN TERJADI
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
2. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
3. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
4. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.
5. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
6. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx kep I. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan jalan nafas lancar.
NOC I : Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.
2. Tidak menunjukkan cemas.
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
5. Tidak ada suara nafas tambahan.
NOC II : Status Pernafasan : Pertukaran Gas
Kriteria Hasil :
1. Mudah dalam bernafas.
2. Tidak menunjukkan kegelisahan.
3. Tidak adanya sianosis.
4. PaCO2 dalam batas normal.
5. PaO2 dalam batas normal.
6. Keseimbangan perfusi ventilasi

Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Suction jalan nafas
Intevensi :
1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction .
3. Beritahu keluarga tentang suction.
4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan.
5. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction.
NIC II : Resusitasi : Neonatus
1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan.
2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat berfungsi dengan baik.
3. Tempatkan BBL di bawah lampu pemanas radiasi.
4. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisasi trachea untuk menghisap mekonium.
5. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari jalan nafas bawah.
6. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi.
7. Monitor respirasi.
8. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat.

DX KEP II. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif.
NOC : Status respirasi : Ventilasi
Kriteria hasil :
1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.
2. Ekspansi dada simetris.
3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC : Manajemen jalan nafas
Intervensi :
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan lender.
2) Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.
3) Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu nafas
5) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu.
6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.

DX KEP III. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pertukaran gas teratasi.
NOC : Status respiratorius : Pertukaran gas
Kriteria hasil :
1. Tidak sesak nafas
2. Fungsi paru dalam batas normal
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC : Manajemen asam basa
Intervensi :
1) Kaji bunyi paru, frekuensi nafas, kedalaman nafas dan produksi sputum.
2) Pantau saturasi O2 dengan oksimetri
3) Pantau hasil Analisa Gas Darah

DX KEP IV. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan risiko cidera dapat dicegah.
NOC : Pengetahuan : Keamanan Anak
Kriteria hasil :
1. Bebas dari cidera/ komplikasi.
2. Mendeskripsikan aktivitas yang tepat dari level perkembangan anak.
3. Mendeskripsikan teknik pertolongan pertama.
Keterangan Skala :
1 : Tidak sama sekali
2 : Sedikit
3 : Agak
4 : Kadang
5 : Selalu
NIC : Kontrol Infeksi
ntervensi :
1. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah merawat bayi.
2. Pakai sarung tangan steril.
3. Lakukan pengkajian fisik secara rutin terhadap bayi baru lahir, perhatikan pembuluh darah tali pusat dan adanya anomali.
4. Ajarkan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi dan melaporkannya pada pemberi pelayanan kesehatan.
5. Berikan agen imunisasi sesuai indikasi (imunoglobulin hepatitis B dari vaksin hepatitis B bila serum ibu mengandung antigen permukaan hepatitis B (Hbs Ag), antigen inti hepatitis B (Hbs Ag) atau antigen E (Hbe Ag).

DX KEP V. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh normal.
NOC I : Termoregulasi : Neonatus
Kriteria Hasil :
1. Temperatur badan dalam batas normal.
2. Tidak terjadi distress pernafasan.
3. Tidak gelisah.
4. Perubahan warna kulit.
5. Bilirubin dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Perawatan Hipotermi
Intervensi :
1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang hangat.
2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan warna kulit dll.
3. Monitor temperatur dan warna kulit.
4. Monitor TTV.
5. Monitor adanya bradikardi.
6. Monitor status pernafasan.
NIC II : Temperatur Regulasi
Intervensi :
1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai suhu stabil.
2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap hangat.
3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu.

DX KEP VI. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan koping keluarga adekuat.
NOC I : Koping keluarga
Kriteria Hasil :
1. Percaya dapat mengatasi masalah.
2. Kestabilan prioritas.
3. Mempunyai rencana darurat.
4. Mengatur ulang cara perawatan.
Keterangan skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NOC II : Status Kesehatan Keluarga
Kriteria Hasil :
1. Status kekebalan anggota keluarga.
2. Anak mendapatkan perawatan tindakan pencegahan.
3. Akses perawatan kesehatan.
4. Kesehatan fisik anggota keluarga.
Keterangan Skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Pemeliharaan proses keluarga
Intervensi :
1. Tentukan tipe proses keluarga.
2. Identifikasi efek pertukaran peran dalam proses keluarga.
3. Bantu anggota keluarga untuk menggunakan mekanisme support yang ada.
4. Bantu anggota keluarga untuk merencanakan strategi normal dalam segala situasi.
NIC II : Dukungan Keluarga
Intervensi :
1. Pastikan anggota keluarga bahwa pasien memperoleh perawat yang terbaik.
2. Tentukan prognosis beban psikologi dari keluarga.
3. Beri harapan realistik.
4. Identifikasi alam spiritual yang diberikan keluarga.



DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Hassan, R dkk. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid 3. Jakarta : Informedika
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius.
Santosa, B. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : Prima Medika.
Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Criteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta : EGC
Manuaba, I. B. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta : EGC
Mochtar. R. 1989. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC











B A B IV
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY “X” DENGAN ASFIKSIA NEONATUS
A. PENGKAJIAN PADA BAYI
1. Identitas data
Nama anak : By X
Tempat/tgl lhr : padang/23 januari 2011
Umur : 1 hari
Jenis kelamin : perempuan
Pendidikan : -
Anak ke : 1
BB : 2400

Nama ibu : Ny. R
Umur : 28 thn
Pekerjaan : perawat
Pendidikan : PT
Alamat : vilaku indah IV, siteba padang

Nama ayah : Tn. D
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : PT
Alamat : vilaku indah IV, siteba padang

Dx medis : asfiksia neonatus
No. MR : 08121315
Tgl masuk RS : 22 januari 2011



2. Keluhan utama
Partus lama, primipara, bayi tidak menangis kuat, pernafaan tidak teratur, tanpak sianosis, gerkakan tonus otot tidak aktif dan melemah. Dan berat bayi <2500 gr (2400 gr).

3. Riwayat kehamilan dan kelahiran
d. Prenatal
2. ibu mengatakan sewaktu hamil hanya menderita flu sedikit saja, pernah mual dan muntah diwaktu hamil muda, ibu lemah, kurang darah dan sering pusing.
3. Ibu mengatakan, ibu teratur memeriksakan kehamilanya kedokter sspesialis kandungan dirumah sakit, ibu diperiksa diRS, dan ibu mengatakan dokter memberikan obat penambah darah atau tablet Fe.
4. Ibu mengatakan, ibu hanya minum obat demam dan dan obat penambah darah.
e. Intranatal
Usia kehamilan ibu cukup bulan saat partus, cara persalinan normal ditolong oleh dokter sp.oG, APGAR score pertama 4, BB 2400gr, Lk 9,6 cm
f. Postnatal
Tidak ada cacat congenital, tidak ikkterus, tidak kejang.
5. Riwayat kesehatan
e. RKD
Ibu mengatakan ibu mual dan muntah pada awal kehamilan
f. RKS
Masuk RS tgl. 23 januari 2011, dimulai pengkajian pada tgl. 23 januari 2011, bayi tanpak sianosis, denyut jantung < 100/menit, pernafasan tidak teratur. Nilai APGAR pertama 4 dikarenakan partus lama.
g. RKK
ibu mengeluhkan kurang darah, tanpak pucat, dan ibu sering pusing-pusing.

Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum klien jelek
12. Rambut : sedikit dan tipis
13. Kulit kepala : kotor
14. Mata :
Kesimetrisan : simetris ki dan ka
Konjungtiva : anemis
Sclera : tdk ikterik
Adanya isi bola mata
15. Telinga
Kesimetrisan ki dan ka, adanya daun telinga, adanya lubang telinga, ada vernik karnisiosa. Tidak ekresi.
16. Hidung
Adanya lubang hidung simetris ki dan ka dan adanya sekat pada hidung
17. Mulut
Tidak ada labia skizis, palato skizis atau labia palato skizis.
18. Dada dan thorak
I : warna kulit dada klien biru, tanpak usaha bernafas minimal
P: terjadi retraksi dinding dada
P: normal
A: 90x/i
19. Abdomen
I : perut tidak asites
P : supel
P : -
A: bising usus (+)
20. Genetalia
Perempuan : labia mayora menutupi labia minora
21. Rectum dan anus
Adanya lubang anus dan tanpak mekonium
22. Kulit/ intagumen
I: kulit berwarna biru atau sianosis


B. PENGKAJIAN FISIK SECARA FUNGSIONAL
NO DATA SUBJECTIF DATA OBJECTIF
1 Data klinik
Suhu : 37oc
RR : 12x/i
Nadi : 90x/i
Ksadaran :
Lk: 30cm (circumferensia sub accipito bregmantika)
LILA : 9,6cm
2 Nurisi dan metabolism
a. Bayi blm ada menyusu dgn ibu nya
b. Kulit sianosis Nutirisi dan metabolism
a. Mukosa mulut
Kering, bibir sianosis
3 Respirasi dan sirkulasi
Tanpak retraksi dinding dada
Respirasi dan sirkulasi
a. Sianosis
b. Banyak terdapat secret pada mulut bayi
4 Eliminasi
Abdomen tdk asites
BAB : tanpak pengeluaran mekonium Eliminasi
a. abdomen
tdk buncit dan supel
b. BAB
tanpak pengeluaran mekonium, warna kehitam2an
c. Rectu/anus
Ada lubang anus

5 Aktifitas dan latihan
Ada pergerakan otot tapi lemah Aktifitas dan latihan
Bentuk kaki normal, otot kaki ada pergeraka tapi lemah

6 Kognitif dan persepsi Kognitif dan persepsi
Gerakan sedikit thp ransangan
Konjungtiva, anemis dan tdk ikterik

7 Peran dan hubungan keluarga
Ibu klien selalu menanyakan kondisi bayi nya. Peran dan hubungan keluarga
Ibu klien selalu ada didekat klien, dan tanpak khawatir dhn kondisi klien.
8 Seksualitas/reproduksi


C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• PH tali pusat : 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.
• Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%.
• Tes combs langsung pada daerah tali pusat. adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik.
D. ANALISA DATA
no DATA MASALAH ETIOLOGI
1 DO
RR : 12x/i
Nadi : 90x/i
Tanpak sianosis
Tanpak retraksi dinding dada
Nilai APGAR pertama 4
Byk terdapat secret pada mulut bayi
DS:
Ibu klien mengatakan anak nya membiru
Ibu klien mengatakan saat lahir anaknya tidak menangis kuat Bersihan jalan nafas tidak efektif produksi mukus banyak
2 DO
RR : 12x/i
Nadi : 90x/i

Tanpak sianosis
Tanpak retraksi dinding dada
Nilai APGAR pertama 4
Byk terdapat secret pada mulut bayi
PH tali pusat : 7,24
DS:
Ibu klien mengatakan anak nya membiru
Ibu klien mengatakan saat lahir anaknya tidak menangis kuat

Pola nafas tidak efektif hipoventilasi
3 DO :
Suhu : 37oc
RR : 12x/i
Nadi : 90x/i
Nilai APGAR pertama 4
Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%

DS :

Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh. kurangnya suplai O2 dalam darah




E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
no Dx kep Tgl muncul TTD Tgl teratasi TTD
1 Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak. 23 januari 2011
2 Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi 23 januari 2011
3 Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b. d kurangnya suplai O2 dalam darah 23 januari 2011

F. INTERVENSI KEPERAWATAN
No No dx kep NOC NIC AKTIVITAS KEP
1 1 Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.
2. Tidak menunjukkan cemas.
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
5. Tidak ada suara nafas tambahan.
1. Suction jalan nafas















2. Resusitasi : Neonatus

1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction .
3. Beritahu keluarga tentang suction.
4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan.
5. Monitor status oksigen pasien, status hemodinamik segera sebelum, selama dan sesudah suction.

1. Siapkan perlengkapan resusitasi sebelum persalinan.
2. Tes resusitasi bagian suction dan aliran O2 untuk memastikan dapat berfungsi dengan baik.
3. Tempatkan BBL di bawah lampu pemanas radiasi.
4. Masukkan laryngoskopy untuk memvisualisasi trachea untuk menghisap mekonium.
5. Intubasi dengan endotracheal untuk mengeluarkan mekonium dari jalan nafas bawah.
6. Berikan stimulasi taktil pada telapak kaki atau punggung bayi.
7. Monitor respirasi.
8. Lakukan auskultasi untuk memastikan vetilasi adekuat.


2 2 Status respirasi : Ventilasi
Kriteria hasil :
1. Pasien menunjukkan pola nafas yang efektif.
2. Ekspansi dada simetris.
3. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
4. Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
Manajemen jalan nafas A. 1) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan melakukan pengisapan lender.
2) Pantau status pernafasan dan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan.
3) Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui adanya penurunan ventilasi.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan AGD dan pemakaian alan bantu nafas
5) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanik bila perlu.
6) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.

3 3 Termoregulasi : Neonatus
Kriteria Hasil :
1. Temperatur badan dalam batas normal.
2. Tidak terjadi distress pernafasan.
3. Tidak gelisah.
4. Perubahan warna kulit.
5. Bilirubin dalam batas normal.
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
Perawatan Hipotermi















: Temperatur Regulasi 1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan tempatkan pada lingkungan yang hangat.
2. Monitor gejala yang berhubungan dengan hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan warna kulit dll.
3. Monitor temperatur dan warna kulit.
4. Monitor TTV.
5. Monitor adanya bradikardi.
6. Monitor status pernafasan.
1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai suhu stabil.
2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap hangat.
3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu.













B A B V
P E M B A H A S A N
Dari pengamatan sewaktu dinas di bangsal kebidanan dan anak RSUP DR. M. DJAMIL Padang. Asfiksia neonatus sangat dikhawatirkan karena asfiksia neonatus dapat mengakibatkan resiko tinngi kematian pada bayi sehingga dapat meningkatkan angka kematian bayi.
Asfiksia merupakan keadaan diman bayi tidak dapat bernafas scara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan keadaan tersebut disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai keasidosis metabolic. Asfiksia neonatus ini dapat terjadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya Asfiksia neonatus ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan atau dapat terjadi setelah lahir. Banyak faktor yang menyebabkan diantaranya, adanya penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi paru, gangguan kontraksi uterus pada ibu risiko tinggi kehamilan data juga terjadi karena faktor placenta seperti janin dengan sulitio plasenta atau faktor janin nya sendiri seperti terjadi kalainan pada tali pusat dengan menmbung atau melilit pada leher atau juga kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kemudian faktor persalinan itu juga sangat penting dalam menentukan terjadinya asfiksia atau seperti pada partus lama, partus dengan tindakakn tertentu ini dapat menyebabakna terjadinya sfiksia. (A. Aziz Alimul Hidayat. 2005: 199)
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi metabolic dan kardiopulmonalnya (hipoksa, hioglikomi, syok) dapat diobati, pd umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelekk jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksia, iskemik. Ensefalopati berat. Ditandai dengan koma flasid, apnea, reflek okulosefalik tidak ada, kejang refrakter, dan pengurangan penipisan korteks yang nyata dan CT Scan, dihubung kan dengan prognosis yang jelek. Skor apgar rendah pada menit ke 20, tidak respirasi spontan pada usia 20 menit dan menetapnya tanda-tanda kelainan pada usia 2 minggu yang meramalkan kematian atau adanya deficit kognitif dn motorik yang berat. (Nelson, 1999: 583).
Maka akan timbul masalah keperawatan seperti :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
2. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
3. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
4. Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada agen-agen infeksius.
5. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
6. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.
(Judith M. Wilkinson, 2007: 671).
Masalah yang kami temukan dilapangan tidak jauh beda dengan teori yang telah dijabarkan diatas. Yaitu masalah tentang pernafasan yang lebih utama, dikarenakan oksigen adalah kebutuhan yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia.
kekurangan oksigen aau asfiksia neonatus dapat berpengaruh pada :
• Sistem saraf pusat  ensefalopati hipokrik-iskemik, infark, pendarahan intracranial, kejang-kejang, edema otak, hipotonia, hipretonia.
• Kardiovaskuler  iskemia miokard, kontraktilitas jelek, bising jantung, insufisiensi trikuspidalis, hipotensi
• Paru-paru  sirkulasi janin persisten, perdarahan paru, RDS.
• Ginjal  nekrosis tubular akut/ korteks
• Adrenal  perdarahan adrenal
• Sal. Cerna  perforasi ulserasi, nekrosis
• Metabolic  sekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia, hipogikemi, hipokalsemi, mioglobinuria
• Kulit  nekrosis lemak subcutan
• Hematologi  koagulasi intravaskuler terbesar.
(Nelson, 1999).

Asfiksia ringan nya tergantung pada penatalaksanya, sedang kan pada bayi dengan asfiksia berat jika penanganan nya tidak tepat dapat menimbulkan kematian, serta kelainan syaraf. Asfiksia dengan pH 6,9 dapat menimbulkan kejang sampai koma, serta kelainan neurologist yang permanen seperti retardasi mental. (Mitayani, 2010).

B A B V I
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Asfiksia merupakan keadaan diman bayi tidak dapat bernafas scara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan keadaan tersebut disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai keasidosis metabolic. Asfiksia neonatus ini dapat terjadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya Asfiksia neonatus ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan atau dapat terjadi setelah lahir. Banyak faktor yang menyebabkan diantaranya, adanya penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi paru, gangguan kontraksi uterus pada ibu risiko tinggi kehamilan data juga terjadi karena faktor placenta seperti janin dengan sulitio plasenta atau faktor janin nya sendiri seperti terjadi kalainan pada tali pusat dengan menmbung atau melilit pada leher atau juga kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, kemudian faktor persalinan itu juga sangat penting dalam menentukan terjadinya asfiksia atau seperti pada partus lama, partus dengan tindakakn tertentu ini dapat menyebabakna terjadinya sfiksia.
Asfiksia ringan nya tergantung pada penatalaksanya, sedang kan pada bayi dengan asfiksia berat jika penanganan nya tidak tepat dapat menimbulkan kematian, serta kelainan syaraf. Asfiksia dengan pH 6,9 dapat menimbulkan kejang sampai koma, serta kelainan neurologist yang permanen seperti retardasi mental.
B. SARAN
Asfiksia merupakan keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan keadaan tersebut disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai keasidosis metabolic. Asfiksia sangat rentan untuk terjadinya sindrom gawat nafas dan dapat menimbulkan kematian pada bayi, sehingga akan menambah angka kematian bayi diindonesia ini. Maka diharapkan kepada ibu agar bayi nya kelak tidak terjadi asfiksia neonatus memeriksakan kehamilannya secara rutin, penuhi nutrisi yang adekuat, personal hygiene adekuat dan selalu menjaga kesehatannya. Dan juga kepada semua petugas kesehatan terutama perawat dapat memberikan pelayanan yang baik dan tindakan tepat pada bayi dengan asfiksia neonatus sehingga dapat menunjukkan hasil yang memuaskan, sehingga dapat meminimalkan komplikasi yang akan terjadi dan dapat menurunkan angka kematian bayi.
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA BY “X” DENGAN ASFIKSIA NEONATUS
DIBANGSAL ANAK DAN KEBIDANAN RSUP DR. MDJAMIL PADANG






Disusun Oleh IV :

SILMIA IZZATI
HANDRI YEANSI
UMAR DINATA
RINNO WILLY
VERA WATI
HAYU MAILA SARI
RISSA ANGGRAINI
AULIA OKTAVIA

KELAS : III B

PRODI : S1 KEPERAWATAN
DOSEN PEMBIMBING : ISESRENI S.Kp

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2010/2011

Selasa, 11 Januari 2011

ASKEP ANEURISMA INTRA KRANIAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aneurisma adalah pelebaran atau menggelembungnya dinding pembuluh darah, yang didasarkan atas hilangnya dua lapisan dinding pembuluh darah, yaitu tunika media dan tunika intima, sehingga menyerupai tonjolan/ balon. Dinding pembuluh darah pada aneurisma ini biasanya menjadi lebih tipis dan mudah pecah. Sebenarnya aneurisma dapat terjadi di pembuluh darah mana saja di tubuh kita. Apabila aneurisma terjadi pada pembuluh darah di dada, beberapa gejalanya adalah rasa sakit di dada, batuk yang menetap, dan kesulitan untuk menelan. Pada perokok sering terjadi aneurisma pada pembuluh darah di lutut, yang menimbulkan gejala seperti tertusuk-tusuk di belakang lutut. Apabila aneurisma ini terjadi pada pembuluh darah otak, gejalanya dapat berupa sakit kepala yang hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai atau tidak disertai dengan muntah. Komplikasi dari aneurisma dapat menyebabkan terjadinya pecahnya pembuluh darah di otak, yang juga dikenal dengan stroke. Sayangnya, kasus ini belum banyak diketahui di Indonesia dan data tentang penyakit ini masih sangat sedikit.
Pelebaran ini dapat pula menekan dan mengikis jaringan di dekatnya. Bila aneurisma itu berada dekat tulang, tulang tersebut akan menipis. Bila berdekatan dengan tenggorokan, maka bagian akan tertekan dan saluran napas tersumbat. Di dalam rongga aneurisma, mudah terbentuk gumpalan darah yang disebut trombus. Trombus ini sangat rapuh dan mudah menyerpih. Serpihan ini menimbulkan sumbatan pembuluh darah di berbagai tempat.
Normalnya, pembuluh darah mempunyai tiga lapisan utama yaitu:
1. Lapisan pertama disebut lapisan intima yang terdiri dari satu lapis endotel.
2. Lapisan kedua adalah lapisan media yang terdiri dari lapisan otot yang elastis.
3. Lapisan ketiga adalah lapisan adventisia yang terdiri dari jaringan ikat longgar dan lemak.

Delapan puluh lima sampai sembilan puluh persen aneurisma berasal dari bagian depan atau pembuluh darah karotis, dan sisanya berasal dari bagian belakang atau pembuluh vertebralis. Aneurisma dikatakan hampir tidak pemah menimbulkan gejala kecuali terjadi pembesaran dan menekan salah satu saraf otak sehingga memberikan gejala sebagai kelainan saraf otak yang tertekan seperti pada trigeminal neuralgia.
Aneurisma intrakranial sering ditemukan ketika terjadi ruptur yang dapat menyebabkan perdarahan dalam otak atau pada ruang subarahnoid, sehingga menyebabkan perdarahan subarahnoid. Perdarahan subarahnoid dari suatu ruptur atau aneurisma otak dapat menyebabkan terjadinya stroke hemoragik, kerusakan dan kematian otak.
Orang yang menderita aneurisma di otak, tidak diperbolehkan berolahraga berat seperti angkat besi. Bahaya perdarahan otak mudah terjadi dan bisa berakibat fatal. Aneurisma sering baru diketahui setelah dilakukan foto rontgen angiografi untuk keperluan lain. Penyebab aneurisma ini bisa karena infeksi, aterosklerosis, rudapaksa, atau kelemahan bawaan pada dinding pembuluh darah.
Di banyak negara, prevalensi penyakit ini tergolong tinggi. Di Amerika Serikat, misalnya, aneurisma mencapai rata-rata lima per 100.000 kasus, tergolong paling tinggi dibandingkan dengan gangguan atau kelainan otak lainnya. Kasus ini di banyak negara ditemui pada pasien berusia 3 - 50 tahun.
Insiden dari aneurisma baik yang pecah maupun yang utuh pada otopsi ditemukan sebesar 5 % dari populasi umum. Insiden pada wanita ditemukan lebih banyak dibandingkan pria, yaitu: 2 - 3 : 1, dan aneurisma multiple atau lebih dari satu didapatkan antara 15 - 31% (Vale dan Hadley).
B. Tujuan

 Mahasiswa mampu memahami tentang pengertian Aneurisma Intrakranial
 Mahasiswa mampu memahami tentang etiology Aneurisma Intrakranial
 Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi Aneurisma Intrakranial
 Mahasiswa mampu memahami tentang web of caution Aneurisma Intrakranial
 Mahasiswa mampu memahami tentang tanda dan gejala Aneurisma Intrakranial
 Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan Aneurisma Intrakranial
 Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan teoritis Aneurisma Intrakranial




BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. PENGERTIAN ANEURISMA INTRAKRANIAL

Aneurisma adalah pelebaran atau menggelembungnya dinding pembuluh darah, yang didasarkan atas hilangnya dua lapisan dinding pembuluh darah, yaitu tunika media dan tunika intima, sehingga menyerupai tonjolan/ balon. Dinding pembuluh darah pada aneurisma ini biasanya menjadi lebih tipis dan mudah pecah. Sebenarnya aneurisma dapat terjadi di pembuluh darah mana saja di tubuh kita. Apabila aneurisma terjadi pada pembuluh darah di dada, beberapa gejalanya adalah rasa sakit di dada, batuk yang menetap, dan kesulitan untuk menelan. Pada perokok sering terjadi aneurisma pada pembuluh darah di lutut, yang menimbulkan gejala seperti tertusuk-tusuk di belakang lutut. Apabila aneurisma ini terjadi pada pembuluh darah otak, gejalanya dapat berupa sakit kepala yang hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai atau tidak disertai dengan muntah. Komplikasi dari aneurisma dapat menyebabkan terjadinya pecahnya pembuluh darah di otak, yang juga dikenal dengan stroke.
Aneurisma serebral (aneurisma otak) adalah kelainan di mana terjadi kelemahan pada dinding pembuluh darah otak, baik pembuluh darah nadi maupun pembuluh darah balik (tunika media dan tunika intima dari arteri maupun vena) yang menyebabkan penggelembungan pembuluh darah otak tersebut secara terlokalisir.

B. KLASIFIKASI

Pembagian aneurisma adalah sebagai berikut :
1. Kongenital (aneurisma sakuler) 4.9%
2. Aneurisma mikotik (septik) 2,6%
3. Aneurisma arteriosklerotik
4. Aneurisma traumatik 5--76,8%.
Laporan otopsi insidensi aneurisma kongenital sebesar 4.9%-20% yang terdiri dari 15% multiple dan 85% soliter. Lokasi aneurisma kongenital dilaporkan : 85-90% pada bagian depan sirkel WILLISI; 30--40% pada arteri carotis interna; 30-40% di cerebri anterior/communicans anterior; 20-30% di a. cerebri media; 10-15% di vertebro-basilaris.

Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan:

 Aneurisma tipe fusiform (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami kelemahan dinding melingkari pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan botol.
 Aneurisma tipe sakuler atau aneurisma kantong (90–95%). Pada aneurisma ini, kelemahan hanya pada satu permukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk seperti kantong dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler. Berdasarkan diametemya aneurisma sakuler dapat dibedakan atas:
Aneurisma sakuler kecil dengan diameter < 1 cm. Aneurisma sakuler besar dengan diameter antara 1- 2.5 cm. Aneurisma sakuler raksasa dengan diameter > 2.5 cm.
 Aneurisma tipe disekting ( < 1% ). Aneurisma bisa multiple ( 70-75% ) dan bisa pula soliter . Menurut besarnya , maka aneurisma otak dibagi menjadi 5 bagian : 1. baby (< 2 mm) 2. small (2-6 mm) 3. medium (6-15 mm) 4. large (15-25 mm) 5. giant (> 25 mm). 3


C. ETIOLOGI
Aneurisma dapat disebabkan oleh berbagai factor:

• Melemahnya struktur dinding pembuluh darah arteri. Merupakan kasus yang paling sering terjadi. Kelemahan pada dinding pembuluh darah ini menyebabkan bagian pembuluh yang tipis tidak mampu menahan tekanan darah yang relatif tinggi sehingga akan menggelembung.
• Hipertensi (tekanan darah tinggi)
• Aterosklerosis (penumpukan lemak pada dinding pembuluh darah arteri) dapat juga menyebabkan pertumbuhan dan pecahnya aneurisma.
• Beberapa infeksi dalam darah
• Bersifat genetik
• Tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Gelembung semula kecil, dengan bertambahnya usia dan penurunan kekuatan pembuluh, dapat menjadi semakin besar hingga akhirnya pecah.
• Cedera kepala merupakan penyebab yang paling sering ditemukan pada penderita perdarahan intrakranial yang berusia dibawah 50 tahun.
Penyebab lainnya adalah malformasi arteriovenosa, yaitu kelainan anatomis di dalam arteri atau vena di dalam atau di sekitar otak. Malformasi arteriovenosa merupakan kelainan bawaan, tetapi baru diketahui keberadaannya jika telah menimbulkan gejala.
• Perdarahan dari malformasi arteriovenosa bisa secara tiba-tiba menyebabkan pingsan dan kematian, dan cenderung menyerang remaja dan dewasa muda.
Kadang dinding pembuluh darah menjadi lemah dan menonjol, yang disebut dengan aneurisma. Dinding aneurisma yang tipis bisa pecah dan menyebabkan perdarahan.
Aneurisma di dalam otak merupakan penyebab dari perdarahan intrakranial, yang bisa menyebabkan stroke hemoragik (stroke karena perdarahan).

D. PATOFISIOLOGI
Pada aneurisma ditemukan suatu kelainan pada lapisan pembuluh darah yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan tunika intima, media dan adventitia. Pada aneurisma terdapat penipisan tunika media dan tunika intima menjadi lebih elastis hal ini mengakibatkan kelemahan pada pembuluh darah di daerah aneurisma sehingga pembuluh darah membentuk tonjolan akibat tekanan pembuluh darah.
Aneurisme intrakranial diklasifikasikan atas sakular, fusiform atau diseksi. Hampir 90 % adalah tipe sakular (Berry Aneurisma).
Tempat yang biasanya timbul aneurisma adalah pada daerah :
1. Sirkulasi anterior : pembuluh darah arteri komunikans anterior dan arteri cerebri media
2. Sirkulasi posterior : pembuluh darah arteri komunikans posterior dan percabangan arteri basilaris (basilar tip aneurism)

Aneurisma sakular berkembang dari defek lapisan otot (tunika muskularis) pada arteri. Perubahan elastisitas membran dalam (lamina elastika interna) pada arteri cerebri dipercayai melemahkan dinding pembuluh darah dan mengurangi kerentanan mereka untuk berubah pada tekanan intraluminal. Perubahan ini banyak terjadi pada pertemuan pembuluh darah, dimana aliran darah turbulen dan tahanan aliran darah pada dinding arteri paling besar.
Aneurisma sakular biasanya berbentuk “first and second order arteries”, berasal dari siklus arteri serebral (siklus wllisi) pada dasar otak. Aneurisma multipel bekembang pada 30% pasien.
Aneurisma fusiformis berkembang dari arteri serebri yang ektatik dan berliku-liku yang biasanya berasal dari sistem vertebra basiler dan bisa sampai beberapa sentimeter pada diameternya. Pasien aneurisme fisiformis berkarakter dengan gejala kompresi sel induk otak atau nervus kranialis tapi gejala tidak selalu disertai dengan perdarahan subarakhnoid.
Aneurisma yang disebabkan oleh diseksi terjadi karena adanya nekrosis kista media atau trauma pada arteri., seperti aneurisma diseksi pada bagian tubuh (contoh: aneurisma diseksi aorta), berbentuk seperti gumpalan darah sepanjang lumen palsu, sedangkan lumen sebenarnya kolaps secara otomatis.
E. WEB OF CAUTION





F. MANIFESTASI KLINIS

Aneurisma serebral hampir tidak pernah menimbulkan gejala, kecuali terjadi pembesaran dan menekan salah satu saraf otak sehingga memberikan gejala sebagai kelainan saraf otak yang tertekan.
Aneurisma yang kecil dan tidak progresif, hanya akan menimbulkan sedikit bahkan tidak menimbulkan gejala. Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah. Sebelum aneurisma berukuran besar mengalami ruptur (pecah), pasien akan mengalami gejala seperti :
- Sakit kepala berdenyut yang mendadak dan berat
- Mual dan muntah
- Gangguan penglihatan (pandangan kabur/ganda, kelopak mata tidak membuka)
- Kaku leher
- Nyeri daerah wajah
- Kelumpuhan sebelah anggota gerak kaki dan tangan
- Denyut jantung dan laju pernapasan naik turun
- Hilang kesadaran (kejang, koma, kematian)
- Tidak mengalami gejala apapun
Pecahnya aneurisma serebral adalah berbahaya dan biasanya menimbulkan perdarahan di dalam selaput otak (meninges) dan otak sehingga mengakibatkan perdarahan subaraknoid (PSA) dan perdarahan intraserebral (PIS) yang keduanya mirip gejala stroke. Juga dapat terjadi perdarahan ulang, hidrosefalus (akumulasi berlebihan dari cairan otak), vasospasme (penyempitan pembuluh darah), dan aneurisma multipel.
Risiko ruptur (pecahnya) aneurisma serebral tergantung pada besarnya ukuran aneurisma. Makin besar ukurannya, makin tinggi risiko untuk pecah. Angka ruptur aneurisma serebral kira-kira 1,3% per tahun. 3 Sebenarnya dapat dilakukan skrining pencitraan, tetapi tidak efektif dari segi pembiayaan.
Tingkat keparahan dari perdarahan subaraknoid (PSA) yang terjadi pada ruptur aneurisma serebral, dapat menggunakan Skala Hunt-Hess :
1. Grade 1: asimtomatik (tidak bergejala) atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk ringan (angka harapan hidup sebesar 70 %)
2. Grade 2: sakit kepala ringan sampai sedang, kaku kuduk, tidak ada gangguan saraf selain kelumpuhan saraf otak (angka harapan hidup sebesar 60 %)
3. Grade 3: somnolen (mengantuk) dengan gangguan saraf minimal (angka harapan hidup 50%)
4. Grade 4: stupor, hemiparesis (lumpuh separuh tubuh), awal dari kekakuan deserebrasi, dan gangguan vegetatif (angka harapan hidup 20 %)
5. Grade 5: koma dalam, kekakuan deserebrasi (angka harapan hidup 10%)
6. Grade 6: mati batang otak (sesuai dengan kriteria perdarahan subaraknoid grade 6)

Klasifikasi Fisher Grade mengelompokkan penampakan perdarahan subaraknoid berdasarkan pemeriksaan CT scan :
1. Grade 1: Tidak ada perdarahan.
2. Grade 2: perdarahan subaraknoid dengan ketebalan < 1 mm 3. Grade 3: perdarahan subaraknoid dengan ketebalan >1 mm
4. Grade 4: perdarahan subaraknoid tanpa memandang tebal perdarahan tetapi disertai perdarahan intraventrikuler atau perluasan perdarahan ke jaringan otak (lapisan parenkim otak)
Klasifikasi Fisher Grade lebih jelas mendeskripsikan perdarahan subaraknoid (PSH), tetapi kurang berguna dalam hal prognostik dibandingkan dengan Skala Hunt-Hess.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas. Kadang-kadang aneurisma tidak sengaja ditemukan saat ''check up'' dengan menggunakan alat canggih seperti CT scan, MRI atau angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi dan ukuran aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan ''angiogram''.
Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik dengan stroke perdarahan. Pemeriksaan tersebut juga bisa menunjukkan luasnya kerusakan otak dan peningkatan tekanan di dalam otak. Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal. Angiografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis dan sebagai panduan jika dilakukan pembedahan.
H. PENATALAKSANAAN
Untuk aneurisma yang belum pecah, terapi ditujukan untuk mencegah agar aneurisma tidak pecah, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut dari aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah pecah, tujuan terapi adalah untuk mencegah perdarahan lebih lanjut dan untuk mencegah atau membatasi terjadinya ''vasospasme'' (kontraksi pembuluh darah yang menyebabkan penyempitan diameter pembuluh darah). Aneurisma biasanya diatasi dengan operasi, yang dilakukan dengan membedah otak, memasang klip logam kecil di dasar aneurisma, sehingga bagian dari pembuluh darah yang menggelembung itu tertutup dan tidak bisa dilalui oleh darah. Dengan operasi ini diharapkan kemungkinan aneurisma tersebut untuk pecah jauh berkurang. Terapi lain adalah dengan memasukkan kateter dari pembuluh darah arteri di kaki, dimasukkan terus sampai ke pembuluh darah di otak yang terkena aneurisma, dan dengan bantuan sinar X, dipasang koil logam di tempat aneurisma pembuluh darah otak tersebut. Setelah itu dialirkan arus listrik ke koil logam tersebut, dan diharapkan darah di tempat aneurisma itu akan membeku dan menutupi seluruh aneurisma tersebut. Pembuluh yang menggelembung dapat dioperasi dengan tingkat keberhasilan 99,9 persen. Bila telah pecah dan koma, keberhasilan tinggal 50 : 50.
Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat.
Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat.
Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.
Pembedahan bisa memperpanjang harapan hidup penderita, meskipun meninggalkan kelainan neurologis yang berat. Tujuan pembedahan adalah untuk membuang darah yang telah terkumpul di dalam otak dan untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak. Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari.
Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.
Pasien yang dicurigai atau datang dengan gejala asymptomatic atau simptomatik aneurisma intrakrnial harus dilakukan tindakan bedah. Dua pilihan untuk terapi invasif adalah kraniotomi terbuka dan terapi endovaskular.
• KOMPLIKASI

Aneurisma yang pecah dapat mengakibatkan :
• Perdarahan subarachnoid saja.
• Perdarahan subarachnoid dan perdarahan intra serebral (60%).
• Infark serebri (50%).
• Perdarahan subarachnoid dan subdural.
• Perdarahan subarachnoid dan hidrosephalus yang sebagian kecil menjadi hidrosephalus normotensif (30%).
• Aneurisma a. carotis interna dapat menjadi fistula caroticocavernosum.
• Masuk ke sinus sphenoid bisa timbul epistaksis.
• Perdarahan subdural saja
• Bahaya dari Aneurisma yang terbentuk, dapat menyebabkan terjadinya stroke atau kematian, karena pecahnya Aneurisma tersebut



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
Pengkajan adalah data dasar utama proses keperawatan yang tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan kesehatan klien yang memungkinkan asuhan keperawatan kepada klien
a. Identitas Pasien
yaitu: mencakup nama, umur, agama, alamat, jenis kelamin, pendidikan, perkerjaan, suku, tanggal masuk, no. MR, identitas keluarga, dll.
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien mengeluh
- Sakit kepala berdenyut yang mendadak dan berat
- Mual dan muntah
- Gangguan penglihatan (pandangan kabur/ganda, kelopak mata tidak membuka)
- Kaku leher
- Nyeri daerah wajah
- Kelumpuhan sebelah anggota gerak kaki dan tangan
- Denyut jantung dan laju pernapasan naik turun
- Hilang kesadaran (kejang, koma, kematian)
- Tidak mengalami gejala apapun

Riwayat Penyakit Dahulu
Kemungkinan klien sering mengkonsumsi makanan yangberlemak tinggi,kolesterol tinggi, klien mempunyai riwayat hipertensi,klien penyakit DM, klien suka mengkonsumsi garam meja berlebihan, Umur lebih dari 50 tahun, Wanita, klien mempunyai kebiasaan Perokok, Pengguna kokain, klien pernah mengalami Trauma kepala, dan Neoplasma intrakranial atau neoplastik emboli


Riwayat Penyakit Keluarga
Dikaji apakah keluarga klien mengalami penyakit yang sama, hipertensi, stroke, DM, atau penyakit lainya.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang ditemukan pada klien ini adalah sebagai berikut :
- Tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu, pernafasan) normal/tidak
- Keadaan klien CMC, stupor, koma.
1. Rambut : uraikan bentuk rambut seperti hitam, pedek, lurus, alopsia
2. Kulit kepala : kotor/tidak kotor
3. Mata :
Kesimetrisan : simetris ki dan ka
Konjungtiva : anemis/tidak anemis
Sclera : ikterik/ tdk ikterik
4. Mulut dan gigi
Rongga mulut : kotor/tdk
Lidah : kotor/tdk
5. Dada dan thorak
I : simetris kiri dan kanan
P: tidak adanya pembengkakan dan nyeri tekan
P: normal/tdk
A: normal/tdk
6. Abdomen
I : adanya pembesaran pada abdomen bawah bagian belakang
P : akan teraba massa bila keadaan sudah lanjut
P : n: tympani
A: bising usus (+) n: 5-35x/i
7. Genetalia
Observasi adanya lesi, eritema, fisura, leukoplakia. Inspeksi skrotum untuk mengetahui ukuran, warna dan bentuk kesimetrisan
8. Rectum dan anus
I: adanya hemoroid, lesi, kemerahan
P: merasakan adanya massa
9. Kulit/ intagumen
I: amati adanya perubhan dan pengurangan pigmentasi, pucat, kemerahan, sianosis, lesi kulit, ikterik.

d. Data Psikologis
Pada klien dengan aneurisma intracranial biasanya klien akan camas dengan prognosis penyakitnya, klien akan tidak bisa atau sulit untuk beraktifitas, maka klien akan merasa tidak berharga, Produktifitas klien akan menurun.
e. Data Social Ekonomi
Meliputi hubungan sosial klien dengan orang lain dan status ekonominya.
f. Data Spiritual
Menyangkut kemampuan klien untuk dapat melakukan ibadah dengan baik untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan meliputi adanya keyakinan spiritual yang berhubungan dengan penyakitnya.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Perubahan perfusi serebral yang berhubungan dengan pendarahan dari aneurisma
2. Perubahan sensori atau persepsi yang behubungan dengan pembatasan terhadap kewaspadaan sub arrachnoid
3. Asietas yang berhubungan dengan penyakitnya atau hambatan pada sub arrachnoid

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DX KEP TUJUAN & K.H INTERVENSI RASIONAL
1 Perubahan perfusi serebral yang berhubungan dengan pendarahan dari aneurisma

2 Perubahan sensori atau persepsi yang behubungan dengan pembatasan terhadap kewaspadaan sub arrachnoid

3 Asietas yang berhubungan dengan penyakitnya atau hambatan pada sub arrachnoid









BAB IV
P E N U T U P
A. KESMPULAN
Aneurisma adalah pelebaran atau menggelembungnya dinding pembuluh darah, yang didasarkan atas hilangnya dua lapisan dinding pembuluh darah, yaitu tunika media dan tunika intima, sehingga menyerupai tonjolan/ balon. Dinding pembuluh darah pada aneurisma ini biasanya menjadi lebih tipis dan mudah pecah. Sebenarnya aneurisma dapat terjadi di pembuluh darah mana saja di tubuh kita. Apabila aneurisma terjadi pada pembuluh darah di dada, beberapa gejalanya adalah rasa sakit di dada, batuk yang menetap, dan kesulitan untuk menelan. Pada perokok sering terjadi aneurisma pada pembuluh darah di lutut, yang menimbulkan gejala seperti tertusuk-tusuk di belakang lutut. Apabila aneurisma ini terjadi pada pembuluh darah otak, gejalanya dapat berupa sakit kepala yang hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai atau tidak disertai dengan muntah. Komplikasi dari aneurisma dapat menyebabkan terjadinya pecahnya pembuluh darah di otak, yang juga dikenal dengan stroke. Sayangnya, kasus ini belum banyak diketahui di Indonesia dan data tentang penyakit ini masih sangat sedikit.
Pelebaran ini dapat pula menekan dan mengikis jaringan di dekatnya. Bila aneurisma itu berada dekat tulang, tulang tersebut akan menipis. Bila berdekatan dengan tenggorokan, maka bagian akan tertekan dan saluran napas tersumbat. Di dalam rongga aneurisma, mudah terbentuk gumpalan darah yang disebut trombus. Trombus ini sangat rapuh dan mudah menyerpih. Serpihan ini menimbulkan sumbatan pembuluh darah di berbagai tempat.

beberapa faktor resiko terjadinya aneurisma intrakranial dimana terbagi 2 yaitu :
Faktor resiko yang diturunkan :
• Penyakit ginjal polikistik autosoml dominan
• Sindrom Ehlers-Danlos tipe IV
• Telangiektasia hemoragik herediter
• Neurofibromatosis tipe I
• Sindrom Klinefelter’s
• Defisiensi alfa-glikosida

Faktor yang lain seperti :
• Umur lebih dari 50 tahun
• Wanita
• Perokok
• Pengguna kokain
• Trauma kepala
• Neoplasma intrakranial atau neoplastik emboli
Prognosis pada aneurisma bergantung pada jenis aneurisma (rupture atau unruptur), bentuk aneurisma, lokasi, waktu penanganan dan kondisi pasien saat dilakukan pengobatan (usia, gejala klinis, kesadaran dan adanya penyakit lain). Prinsipnya semakin cepat ditemukan aneurisma mempunyai kemungkinan kesembuhan yang baik, oleh karena itu pemeriksaan medis rutin sangat dianjurkan.
• Aneurisma a. communicans posterior, dengan ligasi a.carotis communis kematian sebesar 10%, sedangkan dengan bed rest kematian sebesar 42%.
• Aneurisma a. cerebri media, dengan clipping langsung pada aneurismanya mortalitas 11%, sedang dengan istirahat ditempat tidur mortalitas sebesar 36%.
• Aneurisma a. communicans anterior tindakan bedah maupun konservatif angka kematian sama.

Perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke yang paling berbahaya. Stroke biasanya luas, terutama pada penderita tekanan darah tinggi menahun. Lebih dari separuh penderita yang memiliki perdarahan yang luas, meninggal dalam beberapa hari. Penderita yang selamat biasanya kembali sadar dan sebagian fungsi otaknya kembali, karena tubuh akan menyerap sisa-sisa darah.
Pada perdarahan subarahnoid, sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena luasnya kerusakan otak. 15% penderita meninggal dalam beberapa minggu setelah terjadi perdarahan berturut-turut. Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi mental dan fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.

B. SARAN
Aneurisma Otak = Bom Waktu di Kepala, yang sewaktu-waktu pasti akan pecah. Dan apabila pecah akan menimbulkan berbagai macam tanda dan gejala yang sangat mengancam jiwa. Anuerisma intra cranial sangat potensial untuk mendapatkan penyakit stroke.
Maka dari itu jagalah kesehatan kita, Setiap kita pasti mempunyai risiko untuk mendapatkan aneurisma intracranial, siapa tau??? Marilah kita hindari terlalu banyak makanan yang berlemak, kolesterol tinggi, konsumsi berlebihan konsumsi garam meja/dapur, hindari emosi, olah raga teratur dan pastinya pola hidup sehat.
Dan dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan dapat memahami bagaimana tentang penyakit aneurisama intracranial ini, dapat membuat laporan kasus nantinya dan dapat menerapkan asuhan keperawatan yang efektif dan efisien bagi klien aneurisma intracranial.















DAFTAR PUSTAKA

 Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah.
EGC: Jakarta
 Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. EGC: Jakarta
 Http://Aneurisma Intrakranial.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/stonesadults
 R. Sjamsuhidajat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta
 Staff Pengajar Bagian Patologi Anatomic Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1990. Patologi. Universitas Indonesia: Jakarta
 Soeparman & Sarwono waspadji. 1999 . Ilmu Penyakit dalam. Gaya Baru.
Jakarta .
 Ropper AH, Brown RH. The cerebrovascular diseases. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2005: 718-22.
 Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The central nervous system. In: Kumar V, Abbas A, Fausto N [ed.]. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadeplhia: Saunders ; 2005:1411–1412..
 Brisman JL, Song JK, Newell DW (August 2006). Cerebral aneurysms. N Engl J Med 355 (9): 928–39.

ASKEP APENDIKSITIS

KATA PENGATAR


ASSALAMU’ALAIKUM. Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, selawat dan salam kepada nabi besar Muhammad SAW,beserta sahabat, keluarga dan pengikut beliau yang istiqamqah akhir zaman.
Degan izin Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN APENDIKSITIS”
Kami yaitu, bahwa makalah ini Masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini menjadi sempurna.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan arahan kepada kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhirnya kepada Allah SWT, jualah semuanya dikembalikan dengan iringan doa sehingga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca semua upaya mencerdaskan bangsa.


WASSALAMU’ALAIKUM. Wr.Wb.





BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Pemenuhan kebutuhan Dalam memenuhi Askep yang sangat diperlukan pengawasan terhadap masalah yang berhubugan dengan gangguan dari dalam tubuh yang diakibatkan oleh Apendiksitis, yang dapat menggagu pola aktivitas sehari – hari.
ada beberapa prosedur keperawatan yang dapat dilakukan, diantaranya pemenuhan kebutuhan asuhan keperawatan pada pasien yang tidak mampu melakukannya secara mandiri.

B. TUJUAN
Mahasiswa mampu memahami tentang pengertian Apendiksitis
Mahasiswa mampu memahami tentang etiology Apendiksitis
Mahasiswa mampu mengetahui tentang anatomi Apendik
Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi Apendiksitis
Mahasiswa mampu memahami tentang web of caution Apendiksitis
Mahasiswa mampu memahami tentang tanda dan gejala Apendiksitis
Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan Apendiksitis
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan teoritis Apendiksitis


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. DEFINISI
- Appendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileocecal ( Brunner dan Sudarth, 2002 hal 1097 ).
- Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
- Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.
- Apendisitis adalah suatu peradangan yang sering terjadi pada appendiks yang merupakan kasus gawat bedah abdomen yang paling sering terjadi.

B. ETIOLOGI
Appendicitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor prediposisi yang menyertai. Factor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.

1. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk appendiks
5. Appendik yang terlalu panjang.
6. Messo appendiks yang pendek.
7. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks.
8. Kelainan katup di pangkal appendiks.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi Apendisitis ada 2 :
a. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
b. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

C. ANATOMI APENDIK



D. PATOFISIOLOGI
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus.







E. WOC

































F. MANIFESTASI KLINIS
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus). Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
Tanda dan gejala :
1. Anoreksia biasanya tanda pertama.
2. Nyeri, permulaan nyeri timbul pada daerah sentral (viseral) lalu kemudian menjalar ketempat appendics yang meradang (parietal). Retrosekal/nyeri punggung/pinggang. Postekal/nyeri terbuka.
3. Diare, Muntah, demam derajat rendah, kecuali ada perforasi.

G. KOMPLIKASI

1. Perforasi dengan pembentukan abses.
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.

H. PENATALAKSANAAN
a. Pembedahan diindikasikan jika terdiagnosa appendicitis apendektomi segera untuk mencegah risiko infeksi perforasi. Metode insisi abdominal bawah dengan anatesi umum atau spinal.
b. Berikan antibiotic dan terapi cairan IV sampai pembedahan dilakukan.
c. Analgetik dapat diberika setelah diagnose ditegakkan.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
Pengkajan adalah data dasar utama proses keperawatan yang tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan kesehatan klien yang memungkinkan perawat asuhan keperawatan kepada klien
a. Identitas Pasien
yaitu: mencakup nama, umur, agama, alamat, jenis kelamin, pendidikan, perkerjaan, suku, tanggal masuk, no. MR, identitas keluarga, dll.
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat Penyakit Dahulu
Kemungkinan klien pernah menderita atau mengalami gangguan pencernaan, kebiasaan klien kurang mengkonsumsi makanan yang berserat, sering mengalami gagngguan BAB seperti konstipasi.
Riwayat Penyakit Seakarang
Biasanya klien mengeluh nyeri perut dikuadran kanan bawah, mual, muantah, anorexia dan demam. Pada klien post operasi ditemukan nyeri pada luka operasi, klien merasa lemaah, emulihan kesadaran.
Riwayat Penyakit Keluarga
Appendicitis bukan merupakan penyakit keturunan atau penyakit menular seperi penyakit lainya.

c. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan secara head to toe meliputi system dan dikhusus kan pada system pencernaan :
- Tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu, pernafasan) normal/tidak
- Keadaan klien biasanya CMC
1. Rambut : uraikan bentuk rambut seperti hitam, pedek, lurus, alopsia
2. Kulit kepala : kotor/tidak kotor
3. Mata :
Kesimetrisan : biasanya simetris ki dan ka
Konjungtiva : anemis/tidak anemis
Sclera : ikterik/ tdk ikterik
4. Mulut dan gigi
Rongga mulut : kotor/tdk
Lidah : kotor/tdk
5. Dada dan thorak
I : simetris kiri dan kanan
P: tidak adanya pembengkakan dan nyeri tekan
P: normal/tdk
A: normal/tdk
6. Abdomen
I : perut tidak membuncit, tanpak bekas luka operasi post apendiktomi
P : nyeri tekan, dan nyeri lepas, dikuadaran kanan bawah
P : n: tympani
A: bising usus (+) n: 5-35x/i
7. Genetalia
Observasi adanya lesi, eritema, fisura, leukoplakia. Inspeksi skrotum untuk mengetahui ukuran, warna dan bentuk kesimetrisan
8. Rectum dan anus
I: adanya hemoroid, lesi, kemerahan
P: merasakan adanya massa
9. Kulit/ intagumen
I: amati adanya perubhan dan pengurangan pigmentasi, pucat, kemerahan, sianosis, lesi kulit, ikterik.

d. Aktivitas sehari-hari
a. Makan, minum : biasanya klien mengalamin gangguan pada pemenuhan kebutuhan makan dan minum karena mual, muntah dan anorexia.
b. Eliminasi :
Biasanya terjadi gangguan eliminasi terutama pada awitan awal dengan gejala konstipasi
c. Istirahat dan tidur
Biasanya klien mengalami gangguan istirahat dan tidur karena rasa nyeri atau ketidaknyamanan pada daerah abdomen.
e. Data psikologis
Biasanya klien dan keluarga kakn merasa cemas dan khawatir dengan keadaannya
f. Data penunjang/laboratorium
- Leukosit : peningkatan > 10. 000/mm3
- Pada pemeriksaan USG/X-Ray ditemukan densitas pada kuadran kanan bawah.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi
2. Resiko tinggi terhadap infeksi behubungan dengan perforasi pada Apendiks dan tidak adekuatnya pertahanan utama.
3. Volume cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual dan muntah.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan terjadinya mual dan muntah.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi.
Tujuan : nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil : Pasien tampak rileks mampu tidur/ istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a. Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis,
b. Berikan aktivitas hiburan Focus perhatian kembali,
c. Berikan anlgesik sesuai indikasi.
d. Berikan kantong es pada abdomen
Rasional :
a. menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang (supine)
b. meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
c. Analgesic dapat menghilangkan nyeri yang diderita pasien.
d. Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf.

2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan dengan perforasi pada Apendiks dan tidak adekuatnya pertahanan utama.
Tujuan :
Kriteria Hasil : Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi atau inflamasi

Intervensi :
a. Awasi tanda vital.
b. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatn luka aseptic. Berika perawatan paripurna.
c. Lihan insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka, adanya eritema.
d. Beriakn informasi yang tepat dan jujur pada pasien
e. Ambil contoh drainage bila diindikasikan.
f. Berikan antibiotic sesuai indikasi/ a. Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis.

Rasional :
a. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
b. Menurunkan resiko penyebaran bakteri.
c. Memberikan deteksi dini terjainya proses infeksi, dan atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
d. Penetahuan tenteng kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan anxietas.
e. Kultur pewarnaan gram dan sensitifias berguna untuk mengidentifikasi organism penyebab dan pilihan terapi.
f. Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organism (pada innfeksi yang telah ada sebelumnya) utuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen



3. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual muntah.
Tujuan : cairan cukup dalam tubuh dan mual, muntah tidak ada

Kriteria Hasil : Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban membrane mukosa, turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil, dan secara individual haluaran urine adekuat.

Intervensi :
a. Awasi TD dan nadi
b. Lihat membrane mukosa, kaji turgor ulit dan pengisian kapiler
c. Awasi masuk dan haluaran, catat warna urine, konsentrasi, berat jenis.
d. Auskultasi bising usus. Cata kelancaran flatus, gerakan usus.
e. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan oral dimulai dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.
f. Pertahankan penghisapan gaster/usus
g. Beriakn cairan IV dan elektrolit a. Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.

Rasional :
a. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
b. Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
c. Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi cairan.
d. Indikator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per oral.
e. Menurunkan muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.
f. Dekompresi usus, meningkatnya istirahat usus, mencegah muntah
g. Peritonium bereaksiterhadap infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.



BAB IV
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.

Appendicitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor prediposisi yang menyertai. Factor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.

Klasifikasi Apendisitis ada 2 :
a. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
b. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
Penatalaksanaan
d. Pembedahan diindikasikan jika terdiagnosa appendicitis apendektomi segera untuk mencegah risiko infeksi perforasi. Metode insisi abdominal bawah dengan anatesi umum atau spinal.
e. Berikan antibiotic dan terapi cairan IV sampai pembedahan dilakukan.
f. Analgetik dapat diberika setelah diagnosa ditegakkan.

B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan dapat membuat laporan kasus yang sesuai dan dapat menerapkan asuhan keperawatan sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki nantinya.


DAFTAR PUSTAKA

 Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah.
EGC: Jakarta

 Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. EGC: Jakarta

 R. Sjamsuhidajat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta

 Staff Pengajar Bagian Patologi Anatomic Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1990. Patologi. Universitas Indonesia: Jakarta

 Soeparman & Sarwono waspadji. 1999 . Ilmu Penyakit dalam. Gaya Baru.
Jakarta .

ASKEP UROLITIASIS

B A B I I
T I N J A U A N T E O R I T I S

A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI UROTILIASIS
 Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam pelvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah. (brunner and suddatrh, 2002: 1460).
 Urolithiasis adalah :
• Pembentukan batu (calculus) dalam saluran kemih
• Keadaan penyakit yang berhubungan dengan adanya batu dalam saluran kemih.
 Batu atau kalkuli dibentuk didalam saluran kemih mulai dari ginjal kekandung kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi didalam urine. Urolithiasis merujik pada adanya batu dalam sitem perkemihan. Sebanyak 60% kandungan batu ginjal terdiri atas kalsium oksalat, asam urat, magnesium, ammonium dan fosfat atau gelembung asam amino. (Asuhan Keperawatan Gangguan Ginjal: 65)

2. ETIOLOGY DAN FAKTOR PREDISPOSISI

a. Hiperkalemia dan hiperkalsuria disebabkan oleh hiperparatiroidisme, asidosis tubulus ginjal, multiple myeloma, serta kelebihan asupan vitamin D, susu, dan alkali
b. Dehidrasi kronis, asupan cairan yang buruk, dan immobilitas
c. Diet tinggi purin dan abnormalitas metabolisme purin (hperumia dan gout)
d. Infeksi kronis dengan urea mengandung bakteri (priteus vulgaris)
e. Sumbatan kronis dimana urine tertahan akibat benda asing dalam saluran kemih
f. Kelebihan absorbs oksalat pada penyakit imflamasi usus dan reseksi atau ileostomi
g. Tinggal didaerah yang beriklim panas dan lembab
(Asuhan Keperawatan Gangguan Ginjal: 65)

3. ANATOMI FISIOLOGI

Gb. System perkemihan
Sistem urinary adalah sistem organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia, sistem ini terdiri dari dua ginjal, dua ureter, kandung kemih, dua otot sphincter, dan uretra.
GINJAL
 Kedudukan ginjal di belakang dari kavum abdominalis di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra lumbalis iii melekat langsung pada dinding abdomen
 Fungsi ginjal :
- mengeluarkan zat toksik/ racun
- keseimbangan cairan
- keseimbangan asam basa
- mengeluarkan sisa metabolism (ureum, kreatin dll)
URETER
 Terdiri dari 2 pipa yang masing-masing bersambung dari ginjal ke kandung kemih
 Lapisan dinding ureter terdiri dari :
- lapisan luar (jaringan ikat/ fibrosa)
- lapisan tengah (otot polos)
 Lapisan dinding ureter terjadi gerakan peristaltik tiap 5 menit sekali yang mendorong urine melalui ureter
VESIKA URINARIA
 sebuah kantung dengan otot yang mulus dan berfungsi sebagai penampung air seni yang berubah-ubah jumlahnya karena kandung kemih dapat mengembang dan mengempis
 proses miksi
- distensi kandung kemih (± 250 cc) ® reflek kontraksi dinding kandung kemih ® relaksasi spinkter internus ® relaksasi spinkter eksternus ® pengosongan kandung kemih
- kontraksi kandung kemih dan relaksasai spinkter dihantarakan melalui serabut saraf simpatis
- persarafan vesika urinaria diatur torakolumbal & kranial dari sistem saraf otonom
URETRA
 Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih
 Berfungsi menyalurkan air kemih keluar
dalam anatomi, uretra adalah saluran yang menghubungkan kantung kemih ke lingkungan luar tubuh. Uretra berfungsi sebagai saluran pembuang baik pada sistem kemih atau ekskresi dan sistem seksual. Pada pria, berfungsi juga dalam sistem reproduksi sebagai saluran pengeluaran air mani.
FUNGSI HOMEOSTASIS GINJAL
 Ginjal mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air dalam darah.
 Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion hidronium dan hidroksil. Akibatnya, urin yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada pH 8.
 Kadar ion natrium dikendalikan melalui sebuah proses homeostasis yang melibatkan aldosteron untuk meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus konvulasi.
 Kenaikan atau penurunan tekanan osmotik darah karena kelebihan atau kekurangan air akan segera dideteksi oleh hipotalamus yang akan memberi sinyal pada kelenjar pituitari dengan umpan balik negatif. Kelenjar pituitari mensekresi hormon antidiuretik (vasopresin, untuk menekan sekresi air) sehingga terjadi perubahan tingkat absorpsi air pada tubulus ginjal. Akibatnya konsentrasi cairan jaringan akan kembali menjadi 98%.
4. PATOFISIOLOGI DAN WOC
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) di traktus urinarius. Batu terbentuk ketika konsentrasi supstansi seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika difisiensi supstrats tertentu. Seperti sitrat yang secaa normal mencegah kristalisasi dalam urine, serta status cairan pasien. Infeksi, stasis urine, serta drainase renal yang lambat dan perubahan metabolic kalsium, hiperparatiroid, malignansi, penyakit granulo matosa (sarkoldosis, tuberculosis), masukan vitamin D berlebih merupakan penyebab dari hiperkalsemia dan mendasari pembentukan batu kalsium. Batu asam urat dapat dijumpai pada penyakit Gout. Batu struvit mengacu pada batu infeksi, terbentuk dalam urine kaya ammonia – alkalin persisten akibat uti kronik. Batu urinarius dapat terjadi pada inflamasi usus atau ileostomi. Batu sistin terjadi pada pasien yang mengalami penurunan efek absorbsi sistin (asam ammonia) turunan. (brunner and suddatrh, 2002: 1461).



5. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri : pola tergantung pada lokasi sumbatan
b. Batu ginjal menimbulkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi pelvic ginjal serta uretr paroksimal yang menyebabkan kolik. Nyeri hilang setelah batu keluar.
Batu ureter yang besar menimbulkan gejala atau sumbatan seperti saat turun ke ureter (kolik uretra).
Batu kandung kemih menimbulkan gejala yang mirip sistitis.
c. Sumbatan : batu menutup aliran urine akan menimbulkan gejala infeksi saluran kemih : demam dan menggigil.
d. Gejala gastrointestinal : meliputi mual, muntah, diare.


6. KOMPLIKASI
a. Obstruksi Ginjal
b. Perdarahan
c. Infeksi
d. Hidronefrosis

7. PENATALAKSANAAN
Tujuan dasar penatalaksanaan adalh untuk menghilangkan batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi, dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
- Pengurangan nyeri: tujuan segera dari penananan kolik renal tau ureteraladalah untuk mengurangi sampai penyebabnya dapat dihilangkan, morfin atau meperiden diberikan untuk mencegah syok dan sinkop akibat nyeri yang luar biasa.
- Pengangkatan batu: pemeriksaan sistoskopik dan paase kateter ureteral kecil untuk menghilangkan batuyang menyebabkan obsrtuksi (jika mungkin), akan segera mengurangi tekanan-belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri.
- Lithotripsy gelombang kejut ekstrakorporeal (ESWL): adalah prosedur noninvansif yang digunakan untuk menghancurkan batu dikalik ginjal. Setelah batu tersebut pecah menjadi bagian yang kecil seperti pasir, sisa-sisa batu tersebut dikeluarkan secara spontan.
- Pengangkatan bedah: pengangkatn bedah batu ginjal mode terapi utama.
(brunner and suddatrh, 2002: 1462).


8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Sinar X abdomen (ginjal, ureter, kandung kemih) untuk diagnosis batu ginjal
- Pielogram intravena / pemindaian untuk mengenali kerusakan structural, abnormalitas atau obstruksi karena batu
- Hitung darah lengkap
- Kultur urine
- Urinalisis
9. Farmakologi yang diterapkan
Analgesia untuk meredakan nyeri dan memberi kesempatan batu untuk keluar sendiri. Opioid (injecsi morfin sulfat, petidin hidroklorida)au obat AINS (mis ketorolac dan naproxen) dapat diberikan, bergantung pada intensitas nyeri. Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian antibiotic dilakukan apabila terdapat infeksi sal kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder.
Setelah dikeluarkan, batu ginjal dapat dianalisis dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya. Preparat diuretic tiazida akan mengurangi kandungan kalsium dalam urine dengan menurunkan ekskresi kalsium dalam tubulus ginjal. Produksi asam urat dapat dikurangi dengan pemberian alopurinal. Urine yang asam harus dibuat basa dengan preparat sitrat.
(Chang, Esther, 2009 hal: 239).











ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
Pengkajan adalah data dasar utama proses keperawatan yang tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan kesehatan klien yang memungkinkan perawat asuhan keperawatan kepada klien
a. Identitas Pasien
yaitu: mencakup nama, umur, agama, alamat, jenis kelamin, pendidikan, perkerjaan, suku, tanggal masuk, no. MR, identitas keluarga, dll.
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien mengeluh nyeri pinggang kiri hilang timbul, nyeri muncul dari pinggang sebelah kiri dan menjalar ke depan sampai ke penis. Penyebab nyeri tidak di ketahui.
Riwayat Penyakit Dahulu
Kemungkinan klien sering mengkonsumsi makanan yang kaya vit D, klien suka mengkonsumsi garam meja berlebihan, dan mengkonsumsi berbagai macam makanan atau minuman dibuat dari susu/ produk susu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Dikaji apakah keluarga klien mengalami batu ginjal atau penyakit lainnya.

c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang ditemukan pada klien ini adalah sebagai berikut :
- Tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu, pernafasan) normal/tidak
- Keadaan klien biasanya CMC
1. Rambut : uraikan bentuk rambut seperti hitam, pedek, lurus, alopsia
2. Kulit kepala : kotor/tidak kotor
3. Mata :
Kesimetrisan : simetris ki dan ka
Konjungtiva : anemis/tidak anemis
Sclera : ikterik/ tdk ikterik
4. Mulut dan gigi
Rongga mulut : kotor/tdk
Lidah : kotor/tdk
5. Dada dan thorak
I : simetris kiri dan kanan
P: tidak adanya pembengkakan dan nyeri tekan
P: normal/tdk
A: normal/tdk
6. Abdomen
I : adanya pembesaran pada abdomen bawah bagian belakang
P : akan teraba massa bila keadaan sudah lanjut
P : n: tympani
A: bising usus (+) n: 5-35x/i
7. Genetalia
Observasi adanya lesi, eritema, fisura, leukoplakia. Inspeksi skrotum untuk mengetahui ukuran, warna dan bentuk kesimetrisan
8. Rectum dan anus
I: adanya hemoroid, lesi, kemerahan
P: merasakan adanya massa
9. Kulit/ intagumen
I: amati adanya perubhan dan pengurangan pigmentasi, pucat, kemerahan, sianosis, lesi kulit, ikterik.

d. Kebutuhan sehari-hari

A. Makan & minum:
Makan : Sehat : 3x sehari, komposisi nasi + lauk, sayur.
Sakit : 3x sehari, hanya menghabiskan setengh porsi.
Minum: sehat : 6-8 gelas sehari, air putih
Sakit : 10-12 gelas sehari, air putih

B. Eliminasi:
BAK: sehat : 5-7x sehari
Sakit : BAK melalui kateter
BAB: Sehat : 1x sehari,konsistensi lembek
Sakit : 4x sehari konsistensi encer

C. Personal hygiene:
Mandi: sehat : 2x sehari pake sabun
Sakit : 1x sehari dibantu di ats tempat tidur

D. Istirahat & Tidur
Tidur siang: sehat : 2-3 jam sehari, tidak ada gangguan
Sakit : 6-7 jam, gelisah
Tidur malam: sehat : 6-8 jam, tidak ada gangguan
Sakit : 7-8 jam, gelisah

e. Data Psikologis
Pada klien dengan urolitiasis biasanya akan cemas dengan kondisinya, apalagi eliminasi urine tidak teratur dan nyeri, akan menimbulkan kecemasan yang meningkat.
f. Data Social Ekonomi
Meliputi hubungan sosial klien dengan orang lain dan status ekonominya, urolitiasis dapat menyerang siapa saja baik dari golongan ekonomi rendah maupun tinggi
g. Data Spiritual
Menyangkut kemampuan klien untuk dapat melakukan ibadah dengan baik untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan meliputi adanya keyakinan spiritual yang berhubungan dengan penyakitnya.



h. Pemeriksaan Diagnostik

a. Urinalisa : warna : normal kekuning-kuningan, abnormal merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor,kegagalan ginjal). pH : normal 4,6 – 6,8 (rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), Urine 24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing , BUN hasil normal 5 – 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen. Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b. Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau
polisitemia.
c. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine.
d. Foto Rontgen : menunjukkan adanya calculi atau perubahan anatomik pada
area ginjal dan sepanjang uriter.
e. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter).
f. Sistoureteroskopi : visualisasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan
batu atau efek ebstruksi.
g. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan frekuensi / dorongan kontraksi ureteral dan trauma jaringan, pembentukan edema, ischemia seluler.
b. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral.
c. Gangguan thermoregulasi berhubungan dengan proses infeksi.
d. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan dengan proses penyakit.
e. Resiko tinggi kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan mual / muntah (nausea) dan diuresis obstruksi.
f. Infeksi berhubungan dengan pembentukan batu pada traktus urinarius.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Dx Kep Tujuan dan K H Intervensi Rasional
1 Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d Kemungkinan berhubungan dengan:
- Peningkatan frekuensi / dorongan kontraksi ureteral.
- Trauma jaringan, pembentukan edema, iskhemia seluler.
-Nyeri hilang dengan spasme terkontrol.
- Tampak rileks, mampu beristirahat dengan tepat.
1. Kaji skala nyeri dan lokasi




2. Beri tindakan nyemen seperti pijatan pinggang (relaksasi dan distraksi).

3. Bantu ambulasi sering dan tingkatkan pemasukan cairan.




4. Beri kompres hangat pada punggung


5. Kolaborasi pemberian obat narkotik, reflek spasme dan edema jaringan.
1. membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan kemajuan gerakan kalkulus.

2. meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
3. hidrasi kuat meningkatkan lewatnya batu dan membantu mencegah pembentukan batu selanjutnya.

4. menghilangkan tegangan otot dan menurunkan refleks spasme.
5. untuk membantu gerakan batu.
2. Perubahan eliminasi urine b.d
-Stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureter.
- Obstruksi mekanik, inflamasi. - Berkemih dengan jumlah yang normal dan biasa.
- Tidak mengalami tanda-tanda obstruksi.

1. Observasi intake dan output cairan serta karakteristik urine.
2. Dorong meningkatkan pemasukan cairan.



3. Periksa urine dan catat adanya keluaran batu.


4. Pertahankan patensi kateter tak menetap.


5. Kolaborasi pemberian obat Asetozolamide, Amonium Klorida, Asam ashorbat.
1. mengetahui fungsi ginjal dan adanya komplikasi.
2. peningkatan hidrasi membilas bakteri, darah, debris, dan membantu lewatnya batu.
3. penemuan batu menunjukkan identifikasi tipe batu dan pilihan terapi.
4. membantu aliran urine / mencegah retensi dan komplikasi.
5. meningkatkan pH urine untuk menurunkan pembentukan batu asam, menurunkan pembentukan batu fosfat dan mencegah berulangnya pembentukan batu alkalin.
3 Gangguan thermoregulasi berhubungan dengan proses infeksi. - Suhu kembali dalam keadaan normal
- Suhu tubuh 36oC – 37oC.
- Mukosa tidak kering.

1. Observasi tanda-tanda vital.
2. Jauhkan dari baju tebal / selimut tebal.
3. Anjurkan minum sesuai dengan kebutuhan.

1. mengetahui perubahan suhu tubuh
2. dapat meningkatkan suhu tubuh.
3. memenuhi cairan tubuh.
4 Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
Tujuan:
Ansietas berkurang.
Kriteria evaluasi:
Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan pengobatan, ekspresi wajah rileks.
1. Beri kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan harapannya.


2. Beri informasi tentang sifat penyakit, tujuan tindakan dan pemeriksaan diagnostic. 1. kemampuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila lingkungan nyaman dan mendukung untuk diberikan.
2. pengetahuai membantu mengurangi ansietas.

5 Resiko tinggi kekurangan volume cairan dan elektrolit sehubungan dengan mual dan muntah dan diuresis pasca obstruksi.
Tujuan:
Mempertahankan keseimbangan cairan adekuat.
Kriteria evaluasi:
1. TTV stabil, BB normal, nadi perifer normal.
2. Membrane mukosa lembab.
3. Turgor kulit membaik.
1. Obsevasi intake dan output cairan dan eletrolit.

2. Catat adanya muntah dan diare.




3. Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3 – 4 liter/hari.

4. Timbang berat badan setiap hari.



5. Kolaborasi pemberian cairan parenteral dan obat antiemetik.
6. Kaji TTV, turgor kulit dan membrane mukosa.
1. membandingkan keluaran actual dan diantisipasi membantu evaluasi adanya kerusakan ginjal.
2. muntah dan diare berhubungan dengan kolik ginjal karena syaraf ganglion seliaka pada kedua ginjal dan lambung.

3. mempertahankan keseimbangan cairan yang dapat membantu batu keluar.
4. peningkatan berat badan yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi

5. mempertahankan volume cairan dan menurunkan mual dan muntah.
6. indicator hidrasi / volume cairan.

6 Infeksi berhubungan dengan pembentukan batu pada traktus urinarius.
Tujuan:
Infeksi tidak berlanjut.
Kriteria evaluasi:
Tanda-tanda infeksi berkurang.
1. Observasi tanda-tanda infeksi.

2. Catat karakteristik urine.



3. Gunakan teknik aseptic bila merawat.

4. Tingkatkan cuci tangan pada pasien dan staf yagn terlibat.
1. mengetahui perkembangan pasien.

2. urine keruh dan bau menunjukkan adanya infeksi

3. membatasi introduksi bakteri ke dalam tubuh.

4. menurunkan resiko kontaminasi silang.












DAFTAR PUSTAKA


 Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah.
EGC: Jakarta

 Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. EGC: Jakarta

 http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/stonesadults

 National kidney and Urologic Diseases Information Clearing house. Kidney
Stone In Adult.

 R. Sjamsuhidajat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta

 Staff Pengajar Bagian Patologi Anatomic Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1990. Patologi. Universitas Indonesia: Jakarta

 Soeparman & Sarwono waspadji. 1999 . Ilmu Penyakit dalam. Gaya Baru.
Jakarta .





KEPERAWATAN DEWASA II
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN UROLITIASIS









Disusun Oleh :

SILMIA IZZATI
DILTA SARI AMELIA
RINO WILLY
HANDRI YEANSI
AULIA OKTAVIA
FITRA GUMALA DEWI
RISSA ANGGRAINI
VERAWATI

KELAS : III B


PRODI : S1 KEPERAWATAN
DOSEN PEMBIMBING : Ns. Fitria Alisa, S.Kep


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2010/2011

B A B I
P E N D A H U L U A N

a. Latar Belakang
Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam velvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.
Pembentukan batu biasanya mulai dari calyses dan pevis, kemudian dapat menyebar kedalam ureter dan kandung kemih. Beberapa batu dapat pula dibentuk dalam saluran kemih bagian bawah.
Kelainan ini tidak jarang ditemukan, sering tidak menimbulkan gejala, hingga baru ditemukan pada bedah mayat.
Dibeberapa Negara frekuensinya sangat tinggi, misalnya dimesir, Syria, dan india, akibat diit, dan dimesir juga disebabkan oleh banyaknya schistomiasis kandung kemih.
Diindonesia kelainan ini juga sering ditemukan, hanya angka-angka statistic yang tepat belum ada. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada pria dari wanita, biasanya diatas usia 30 tahun dab terutama usia 50 tahun, disebabkan oleh insidens obstruksi air kemih dan infeksi yang tinggi. Senagian besar dari batu tersusun atas berbagai campuran 5 kristaloid, yaitu oksalat kalsium, fosfat kalsium, fosfat magnesium ammonium, asam urat dan scystine. Selain kristaloid batu tersebut juga mengandng matrix organic mukoprotein yang mungkin sangat penting sebagai nidus (tempat) pembentukan batu atau merupakan lingkungan yang cocok bagi kristalisasi dari pada substansi yang membentuk batu. (Patologi: Univ Indonesia: 277)

b. Tujuan

Mahasiswa mampu memahami tentang pengertian urolitiasis
Mahasiswa mampu memahami tentang etiology urolitiasis
Mahasiswa mampu memahami tentang anatomi fisiologi system perkemihan
Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi urolitiasis
Mahasiswa mampu memahami tentang web of caution urolitiasis
Mahasiswa mampu memahami tentang tanda dan gejala urolitiasis
Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan urolitiasis
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan teoritis urolitiasis

















B A B I I I
P E N U T U P

A. Kesimpulan
Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang tumbuh sebagai pencetus larutan urin. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam velvis ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan dapat membuat laporan kasus yang sesuai dan dapat menerapkan asuhan keperawatan sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.